Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Fatahillah Akbar
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir-akhir ini, muncul banyak kasus pemuka agama yang terseret kasus penistaan agama, seperti Ustad Abdul Somad yang berceramah mengenai agama lain di sebuah masjid di Riau. Hal yang sama juga menimpa Zakir Naik, pendakwah dari India, yang menyinggung agama lain dalam ceramahnya di Malaysia. Kedua kasus tersebut berujung pada dugaan tindak pidana. Kasus Abdul Somad berkaitan dengan dugaan tindak pidana penistaan agama, sedangkan kasus Zakir Naik berkaitan dengan provokasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah ceramah agama dalam suatu forum internal sebagaimana dicontohkan kedua kasus itu dapat dijerat dengan pasal penodaan agama? Untuk mengkaji masalah tersebut, perlu ditelusuri kaitan antara tindak pidana dan agama.
Perkara penghinaan agama termasuk delik pidana sejak 1965 melalui penetapan presiden yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Menurut Barda Nawawi Arief, tindak pidana agama dapat diklasifikasi ke dalam tiga kelas, yakni tindak pidana menurut agama, terhadap agama, dan berhubungan dengan agama. Penistaan agama jelas termasuk tindak pidana terhadap agama, sehingga obyek utamanya adalah agama itu sendiri, bukan perseorangan penganut agama tersebut. Secara filosofis, Undang-Undang Penodaan Agama memang tidak membedakan obyek agama yang dapat diserang. Semua agama yang diakui di Indonesia dilindungi dengan undang-undang tersebut.
Selain itu, undang-undang tersebut merupakan perubahan parsial pada Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur penghinaan terhadap golongan tertentu. Undang-undang itu kemudian menambahkan Pasal 156a KUHP mengenai tindak pidana penistaan agama. Pasal itu berbunyi: "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Unsur utama rumusan pasal itu adalah "di muka umum" dan "bersifat penodaan terhadap suatu agama". Lantas, apakah pendapat yang disampaikan dalam forum internal suatu agama tertentu dapat dikatakan "di muka umum"?
Menurut Lamintang, suatu perbuatan dikualifikasikan telah dilakukan di muka umum jika perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku dengan cara yang sedemikian rupa sehingga pernyataan itu dapat didengar oleh publik. R. Soesilo, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya, "di muka umum" adalah "tempat yang didatangi publik atau di mana publik dapat mendengar". Jadi, pada dasarnya, "di muka umum" tidak membedakan forum. Undang-Undang Penodaan Agama juga tidak mensyaratkan publik itu merupakan penganut agama yang berbeda atau tidak.
Dalam penerapannya, kita bahkan dapat melihat pada Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1612/PID.B/2018/PN Mdn yang mengadili Meliana, seorang ibu beragama Buddha yang memprotes suara azan yang terlalu keras. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan "di muka umum cukup terpenuhi jika perasaan yang dikeluarkan pelaku dapat didengar oleh publik, atau perbuatan yang dilakukan pelaku dapat dilihat oleh publik". Meski Meliana hanya menyampaikan kepada satu orang saksi di suatu warung, kasus unsur "di muka umum" tetap terpenuhi.
Selain unsur tersebut, unsur "penodaan agama" perlu dikaji. Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140 Tahun 2009 dinyatakan bahwa klausul "permusuhan", "penyalahgunaan", atau "penodaan" agama merupakan kebebasan hakim untuk memberikan pertimbangan berdasarkan masing-masing kasus dalam memberikan keadilan. Adami Chazawi menyatakan unsur "penodaan agama tertentu" ialah melakukan perbuatan yang oleh umat penganut agama yang bersangkutan dinilai menodai agama tersebut.
Penodaan mengandung sifat penghinaan, melecehkan, atau meremehkan dari suatu agama sehingga menyakiti perasaan pemeluk agama bersangkutan. Dalam hal ini, yang terpenting adalah apa yang dirasakan oleh umat agama yang dinodai. Karena itu, dalam kasus Meliana pun, salah satu alat bukti yang paling kuat adalah fatwa MUI sebagai perwakilan muslim di Medan.
Kalaupun pernyataan ini disampaikan dalam forum agama tertentu dan kemudian terdengar oleh pihak lain yang tidak ada di forum tersebut, hal itu tetap akan memenuhi rumusan "di muka umum" dan "penodaan agama". Hal ini merujuk pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Undang-Undang Penodaan Agama ditujukan agar setiap orang Indonesia saling menghormati keberagaman beragama. Maka, bukan hanya para pemuka agama, semua lapisan masyarakat juga harus lebih hati-hati ketika berbicara mengenai suatu agama, terutama agama yang tidak mereka pahami.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo