Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Naskah rancangan peraturan presiden soal reforma agraria menuai kontroversi karena merupakan turunan UU Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Reforma agraria versi Presiden Jokowi disebut tak sesuai dengan amanat UU Pokok Agraria.
UU Pokok Agraria bertujuan mendorong perombakan ketimpangan struktural, pembatasan kepemilikan tanah, serta menghapus warisan kolonial, seperti tuan tanah.
Ketika disahkan lebih dari enam dekade lalu, Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 digadang-gadang Presiden Sukarno menjadi senjata pamungkas untuk membongkar ketimpangan kepemilikan tanah di negeri ini. Kini Presiden Joko Widodo punya kesempatan menuntaskan rencana besar tersebut. Syaratnya, dia harus merombak total naskah rancangan peraturan presiden (perpres) tentang percepatan pelaksanaan reforma agraria yang diluncurkan Kementerian Koordinator Perekonomian, dua pekan lalu.
Naskah awal perpres tersebut menuai kontroversi karena sejumlah alasan. Pertama, konsiderans yang dipakai sebagai dasar peraturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Padahal, kita tahu, pada akhir November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan omnibus law itu sebagai produk hukum yang inkonstitusional bersyarat. Mahkamah juga melarang pemerintah membuat kebijakan yang bersifat strategis dan mengesahkan aturan turunan sampai beleid itu diperbaiki. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat diberi waktu dua tahun untuk menyempurnakan UU Cipta Kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artinya, draf rancangan perpres tentang percepatan pelaksanaan reforma agraria jelas menyalahi putusan MK ketika menyebut UU Cipta Kerja dalam konsideransnya. Presiden Jokowi semestinya menjewer bawahannya yang terang-terangan membangkang pada putusan Mahkamah.
Kedua, proses perumusan rancangan perpres ini pun bermasalah. Para pejabat di Kementerian Koordinator Perekonomian dikabarkan tidak melibatkan para pemangku kepentingan, terutama perwakilan masyarakat sipil. Konsorsium Pembaruan Agraria, sebuah organisasi non-pemerintah yang getol mendampingi publik dalam isu pertanahan, termasuk salah satu yang diklaim terlibat dalam uji publik rancangan peraturan ini pada awal November lalu. Tapi, belakangan terungkap, mereka bahkan tidak diundang dalam forum tersebut.
Walhasil, kesan terburu-buru dalam perumusan rancangan perpres ini jadi tak terelakkan. Apalagi beredar kabar bahwa peraturan tersebut memang kejar tayang agar janji Presiden Jokowi untuk membagikan 9 juta hektare tanah sebelum masa jabatannya yang kedua berakhir pada 2024 bisa tercapai. Sampai saat ini, pembagian tanah obyek reforma agraria baru mencapai 5,63 juta hektare. Aturan sebelumnya, yakni Perpres Nomor 86 Tahun 2018, dinilai tak cukup untuk mempercepat proses reforma agraria yang dicanangkan Presiden Jokowi.
Ketiga, substansi rancangan perpres ini pun dinilai melenceng jauh dari amanat UU Pokok Agraria. Roh legislasi lawas tersebut adalah upaya merombak ketimpangan struktural agraria dengan menerapkan pembatasan kepemilikan tanah serta menghapus warisan hukum kolonial yang feodal di sektor agraria. Tak ada lagi tuan tanah yang bisa menguasai ratusan ribu hingga jutaan hektare lahan untuk kepentingannya sendiri.
Nyatanya, konsep reforma agraria yang diusung dalam rancangan aturan ini jelas tak sepenuhnya berpihak kepada rakyat kecil. Memang ada upaya untuk membongkar struktur kepemilikan tanah lama. Tapi itu didorong demi kepentingan menarik investor asing. Karena itulah, tak jauh-jauh dari semangat UU Cipta Kerja, rancangan perpres tentang reforma agraria ini juga cenderung pro pada kepentingan bisnis. Klausul soal bank tanah, misalnya, jelas dirancang untuk menjawab kebutuhan tanah para pengusaha.
Sudah seharusnya Presiden mengoreksi arah perumusan aturan ini, mumpung belum terlambat. Jangan sampai aturan itu kelak bertentangan dengan UU Pokok Agraria yang kerap disebut melampaui zaman karena berani mengatur pembagian tanah yang lebih adil. Jika hal itu sampai terjadi, dari rakyat kecil, petani gurem, nelayan tradisional, hingga kaum miskin kota hanya bisa gigit jari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo