Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gunung. Sawah. Jalan raya. Deretan pohon yang kian menjauh....
Sejak bertahun-tahun lalu kita kenal gambar lanskap itu: buatan anak sekolah dasar yang patuh kepada guru, atau para pelukis yang menjajakan karyanya di tepi jalan. Mudah dimengerti. Mudah dibikin. Hanya mengikuti formula lama.
Tapi sebenarnya gambar semacam itu menandai satu zaman baru--zaman yang berbeda dari tiga abad yang lalu, ketika para perupa Bali melukis manusia, pohon, dan hewan di langit-langit Bale Kerta Gosa di Klungkung.
Seni rupa klasik Bali tak mengenal apa yang disebut "perspektif"--sebuah konsep yang dirumuskan di Firenze, Italia, di abad ke-15 oleh Alberti. Justru para pembuat gambar lanskap yang dijajakan di tepi jalan yang secara otomatis mengikutinya.
Entah sejak kapan pengaruh perspektif ala Alberti masuk ke seni rupa Indonesia. Mungkin di masa kolonial, ketika para perupa Belanda ingin menggambarkan negeri jajahan mereka sebuah dunia yang eksotis dan tertata, seperti perkebunan teh onderneming.
Mungkin juga karena zaman berubah. Perspektif ala Alberti adalah model orang modern melihat dunia. Lanskap seakan-akan tampak dari sebuah jendela, dilihat dari satu titik yang tetap. Dari sana, jarak akan kelihatan bersama makin mengecilnya benda-benda, tanda mereka kian menjauh dari titik pandang.
Tentu saja ruang itu statis. Ia diringkas dalam satu pigura. Ia ditatap--atau diintai--dengan satu sudut pandang, ditata secara geometris, dikuasai sang penglihat. Tatapannya jadi tolok ukur. Sang penglihat dianggap mewakili manusia--atau indra visual manusia--pada umumnya. Ia jadi pusat.
Berbeda dengan lukisan di langit-langit Bale Kerta Gosa. Di bidang itu, besar-kecilnya tubuh seseorang tak ditentukan oleh jaraknya dari mata kita. Potongan rakyat lebih pendek meskipun mereka di baris depan, bangsawan lebih besar tinggi meskipun mereka agak di kejauhan. Di Kerta Gosa, yang menentukan sebuah hierarki sosial. Ruang belum diratakan geometri. Gambar masih membawa serta kekuasaan di luar sanggar. Sang pelukis bukan wakil indra visual yang abstrak; ia manusia yang terkait dengan sejarah masyarakatnya. Dan ia bukan pusat yang menentukan.
Lanskap yang tanpa pusat dan tanpa garis keliling adalah lukisan di gua-gua prasejarah. Di dinding sebuah gua purba Amerika Utara, tampak gambar hewan dan pemburu berada di bidang dua dimensi yang tanpa struktur. Mana "atas" dan mana "bawah" tak jelas. Jarak dari posisi orang yang melukis ke lokasi benda yang dilukis tak menentukan ukuran. Perspektif tak dikenal di sini. Tiap sosok--pemburu, bison, rusa, dan serigala--setara di bawah langit, di permukaan bumi. Tak ada hierarki. Tak ada pusat yang stabil. Semua seakan-akan dalam pusaran.
Bagi saya lukisan gua itulah ekspresi manusia yang paling polos--dan paling religius dalam sejarah seni rupa, justru ketika tak ada jejak agama dan para petingginya.
Di Italia di abad ke-15, agama hadir mencolok di katedral-katedral megah, tapi manusia yang jadi standar. Tuhan sudah setengah ditinggalkan di biara-biara Abad Pertengahan. Dunia modern datang dengan hubris, kepercayaan diri manusia membubung--dan arti "religius" adalah membangun dan memperkaya gereja.
Sebuah sajak John Donne yang ditulis di Inggris di abad ke-16 sepenuhnya menggambarkan gairah (dan ketakaburan) modern itu:
...kita buat surga datang ke kita,
Kita pacu dan kendalikan bintang-bintang...
Tapi modernitas mengandung antitesisnya sendiri. Kepercayaan diri manusia sebenarnya tak kokoh. Berbareng dengan kesadaran perspektif, geometri dan matematika tumbuh. Sains makin canggih dan manusia makin tahu tak ada surga. Ia juga ternyata tak mengendalikan bintang-bintang. Lewat teleskop-teleskop baru, makin sering tampak galaksi yang tak masuk hitungan--dan makin disadari betapa kecilnya bumi dan betapa sedikitnya yang manusia ketahui.
Dan ketika dengan perspektif manusia memandang dunia, lurus dan persis, ia kian sadar, yang tampak olehnya hanya tampak dari satu sudut pandang. Seperti dikatakan Karsten Harries dalam Infinity and Perspective: "Menyadari bahwa sebuah perspektif adalah sebuah perspektif sama artinya dengan, dalam arti tertentu, telah melampauinya."
Dengan kata lain: dari "jendela Alberti", manusia tak dapat sekaligus melihat sebuah ruang seluruhnya. Di saat itulah ia mengenal kedaifan dirinya, mengenal yang-tak-terhingga.
Yang-tak-terhingga itulah yang, menurut Harries, sudah diteguhkan Nicolaus Cusanus, pemikir dan rohaniwan Jerman di tengah perpecahan Gereja Katolik di akhir abad ke-15. Alam semesta, kata Cusanus, tanda dari yang-tak-terhingga, adalah "sebuah wilayah (sphere) yang pusatnya ada di mana-mana dan batas luarnya tak ada".
Tak ada satu pusat, tak ada batasan yang mantap.
Mungkin itulah awal kebingungan manusia. Mungkin itu momen religiusnya. Mungkin pula pangkal kemerdekaan berpikirnya.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo