Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rencana penggabungan BTN Syariah dengan Muamalat mendapat penolakan dari Majelis Ulama Indonesia.
Merger BTN Syariah dengan Muamalat lebih strategis ketimbang melepas UUS menjadi bank syariah tersendiri.
Jika terealisasi, merger BTN Syariah dengan Muamalat dapat mengubah peta perbankan syariah nasional.
Paul Sutaryono
Assistant Vice President BNI (2005-2009)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank syariah kembali menjadi buah bibir. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN dikabarkan akan menggabungkan unit usaha syariah (UUS) BTN Syariah dengan Bank Muamalat. Langkah ini, dalam berbagai pemberitaan, disebut sebagai bagian dari proses pemisahan (spin-off) UUS dari induknya. Lo? Padahal sebelumnya BTN Syariah justru dikabarkan akan dimerger dengan PT Bank Syariah Indonesia (BSI).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mencuatnya kabar ini juga mendapat komentar dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menolak rencana penggabungan BTN Syariah dengan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. Seperti ramai diberitakan di media massa, MUI tak ingin penggabungan ini mengganggu warisan para pendiri Muamalat. Selain itu, MUI berharap, sebagai bank syariah swasta terbesar saat ini, Muamalat tetap eksis di tengah ketatnya persaingan industri perbankan di Tanah Air. Selain adanya penolakan itu, apa saja tantangan rencana merger ini?
Sebelumnya, mari kita amati dulu kinerja bank umum syariah (BUS), di luar unit usaha syariah. Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan bahwa pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank naik 14,78 persen dari Rp 305,85 triliun per Agustus 2022 menjadi Rp 351,04 triliun per Agustus 2023.
Dana pihak ketiga pun naik 3,95 persen dari Rp 407,27 triliun menjadi Rp 423,37 triliun. Financing to deposit ratio naik dari 75,10 persen menjadi 82,92 persen dalam ambang batas 78-92 persen. Artinya, pembiayaan tumbuh moderat.
Laba juga tercatat naik 14,57 persen dari Rp 9,47 triliun menjadi Rp 10,85 triliun. Namun kenaikan itu belum sanggup mendorong rasio imbal hasil aset yang justru turun dari 2,04 persen menjadi 2,03 persen, meski masih di atas ambang batas 1,5 persen. Sarinya, kualitas aset turun tipis meski masih cukup tinggi.
Tingkat efisiensi, yang tampak pada rasio biaya operasional/pendapatan operasional, juga membaik, dari 77,34 persen menjadi 76,60 persen dalam ambang batas 70-80 persen yang berarti efisien. Rasio kredit bermasalah membaik dari 2,64 persen menjadi 2,32 persen, jauh di bawah ambang batas aman 5 persen. Ini menggambarkan kualitas kredit bank umum syariah kian baik.
Aneka Pertimbangan Merger
Lantas, apa saja tantangan ke depan? Faktor apa saja yang patut dipertimbangkan untuk menjawab tantangan tersebut?
Sejatinya ada beberapa tujuan merger di sektor perbankan. Menurut Bank Indonesia, konsolidasi perbankan memiliki tiga tujuan. Pertama, untuk meningkatkan economies of scale dan economies of scope. Dengan bahasa lebih bening, penggabungan beberapa bank akan menghasilkan sinergi dalam bentuk efisiensi biaya operasional untuk menghasilkan diversifikasi produk perbankan yang lebih baik.
Tujuan kedua untuk meningkatkan kemampuan permodalan guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Konsolidasi diharapkan dapat mendorong bank untuk melakukan ekspansi kredit dengan lebih baik dan terjaga (sustainable). Pertumbuhan kredit yang subur bermanfaat untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi.
Tujuan ketiga untuk meningkatkan daya saing perbankan yang didukung bank-bank yang maju dan sehat dalam menghadapi persaingan global.
Dengan Peraturan OJK Nomor 12 Tahun 2023 tentang Unit Usaha Syariah yang berlaku efektif 12 Juli 2023, OJK mewajibkan bank umum konvensional (BUK) melakukan pemisahan UUS ketika telah memiliki total aset 50 persen dari total aset BUK dan/atau minimal Rp 50 triliun. OJK memberi waktu untuk menjalankan kewajiban ini sampai 31 Desember 2026.
Aturan itu menjadi roh mengapa BTN bercita-cita agar BTN Syariah melakukan merger dengan Bank Muamalat. Hal itu merupakan langkah yang lebih strategis daripada melepas UUS menjadi bank syariah tersendiri. Dengan merger itu, BTN dapat meraih sinergi tinggi seperti yang tersurat pada tujuan merger pertama, yakni sanggup menghasilkan sinergi dalam bentuk efisiensi biaya operasional untuk menghasilkan diversifikasi produk perbankan yang lebih baik.
Selain itu, sejalan dengan tujuan kedua, konsolidasi BTN amat diharapkan dapat menggenjot ekspansi kredit dengan lebih baik dan berkelanjutan. Namun untuk menggapai cita-cita itu, BTN harus mampu memgakuisisi sebagian besar saham Bank Muamalat untuk menjadi pemegang saham pengendali.
Peta Perbankan Syariah Bisa Berubah
Kini, kita lihat kondisi Bank Muamalat. Siapa pemegang saham syariah pertama di Indonesia tersebut? Berdasarkan catatan di Bursa Efek Indonesia, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) memiliki saham Muamalat sebesar 82,65 persen; Andre Mirza Hartawan 5,19 persen; dan lainnya di bawah 3 persen. Jadi, BPKH menjadi pemegang saham pengendali.
Ketika BTN mampu menjadi pemegang saham pengendali Bank Muamalat, peta perbankan syariah nasional bisa berubah. Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai pemimpin pasar perbankan syariah akan mendapat pesaing berat, yakni Bank Muamalat di bawah komando BTN.
Jika hal itu terjadi, cita-cita OJK bisa tercapai, yakni adanya 2-3 bank syariah sebagai pesaing BSI di masa mendatang. Akibatnya, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk BRI diminta melakukan divestasi (pelepasan saham) di BSI masing-masing 24,85 persen dan 17,25 persen atau total 42,10 persen.
Namun rencana itu justru bertolak belakang dengan cita-cita pemerintah untuk menjadikan BSI sebagai bank syariah nomor wahid. Bahkan BSI digadang-gadang menjadi bank syariah top 10 di tingkat dunia.
Nah, manakala merger itu kelak terwujud, BTN pastinya akan terus menggeber KPR syariah melalui Bank Muamalat. Namun, perlu diingat, pangsa pasar pembiayaan bank syariah selama ini masih di bawah 10 persen dari kredit bank konvensional.
Karena itu, bank syariah wajib mengembangkan produk dan jasa perbankan syariah dengan lebih bervariasi, jangan hanya meningkatkan pembiayaan. Pada saat bersamaan, bank syariah patut membangun dan mengembangkan produk serta jasa lainnya, seperti treasury, jasa perbankan internasional, dan trade finance yang meliputi ekspor, impor, serta bank garansi. Itu semua mampu menghasilkan fee-based income yang gurih.
Tapi, perlu diingat, merger itu akan memakan waktu, tenaga, dan biaya lantaran aksi ini meliputi beberapa tahap, seperti pembahasan dua bank yang akan merger (business-to-business/B2B), uji kelayakan (due diligence), dan persetujuan regulator (OJK). Walhasil, merger itu diprediksi baru terwujud paling cepat pada semester pertama 2024.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo