Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Poligami Masuk Istana

11 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”... Ketahuilah, aku tidak akan meng-izinkan, sekali lagi tidak akan mengi-zinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka.” (Jami’ al-Ushul, juz XII, 162, nomor hadis: 9026)

MARAH besar. Begitulah reaksi Nabi Muhammad ketika mendengar putrinya, Fatimah, akan dimadu oleh Ali bin Abi Thalib. Nabi dikisahkan bergegas masuk masjid, lalu naik mimbar seraya berseru sebagaimana dinukil dalam matan atau redaksi hadis di atas. Kisah ini juga termaktub dalam kitab kumpulan hadis Shahih Bukhori.

Pesan hadis ini jelas menolak poli-gami. Inilah topik paling hot yang kini jadi sorotan tajam setelah Ustad Abdullah Gymnastiar dari Pesantren Daarut Tauhiid, Bandung, Jawa Barat, mengumumkan perkawinan keduanya. Tak sedikit pengidola Aa Gym, terutama ibu-ibu majelis taklim, yang kecewa berat bahkan marah besar.

Namun tradisi perseliran ini selalu saja sarat kontroversi. Ada masalah hermeneutika atau penafsiran atas teks. Dalam Al-Quran, Surah An-Nisa, ada satu-satunya ayat yang secara eksplisit membolehkan poligini: dua, tiga, atau empat istri. Ayat inilah yang selalu menjadi senjata andalan bagi para pendukung poligami. Padahal, diturunkannya ayat tersebut dalam konteks perlindungan terhadap yatim-piatu dan janda korban perang.

Apalagi ”ayat poligami” tersebut cuma sepotong alias belum utuh. Lanjutan teksnya juga memuat aturan yang ketat: masalah keadilan atas yang dimadu, yakni kaum perempuan. Yang juga perlu diingat, dalam teks berikutnya juga ditegaskan bahwa ”engkau (laki-laki) tidak akan dapat berlaku adil, walau berusaha keras untuk itu.”

Ayat ini rupanya terbukti. Nabi mengakui bahwa hatinya lebih cenderung kepada Aisyah ketimbang istrinya yang lain. Maklumlah, si muka merah inilah satu-satunya istri Nabi yang perawan, cerdas, manja, pencemburu. Aisyah kerap menjadi juru bicara untuk pelbagai pertanyaan kaumnya ihwal fikih perempuan, semisal soal haid dan nifas.

Lalu bagaimana watak asli perkawinan dalam Islam? Pembaru Islam abad ini, Muhammad Abduh, menjawab: monogami. Selain Abduh, Rasyid Ridha dan Muhammad al-Madan—ketiganya ulama terkemuka Al-Azhar Mesir—lebih memperketat penafsirannya. Abduh, melihat kondisi Mesir saat itu, cenderung mengharamkan poligami.

Sedangkan pendapat yang pro berdalih ”mengikuti sunah Rasul” atau ”daripada berzina, mending menikah lagi”. Padahal sikap beristri lebih dari satu yang diterapkan Nabi adalah strategi meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7. Saat itu, status sosial perempuan dan janda begitu rendah, sehingga laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Masalahnya, di Indonesia pendapat pro-poligami ini mendapat legitimasi dari ketentuan negara. Ketentuan tersebut adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 3 ayat 2 disebutkan bahwa pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Padahal ayat sebelumnya (pasal 3 ayat 1) pada pokoknya menyatakan bahwa seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri. Demikian pula seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami. Di sini ada inkonsistensi. Ini memperlihatkan bahwa dalam sebuah institusi perkawinan, posisi tawar perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Beleid tersebut bias gender. Selain mengunggulkan kaum laki-laki, fungsi istri dalam perkawinan adalah hanya untuk melayani suami. Ini bisa terlihat dari alasan yang dapat dipakai oleh pengadilan agama untuk memberikan izin suami melakukan poligami karena istri cacat badan, tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, dan tidak dapat melahirkan keturunan.

Sedangkan salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami yaitu adanya persetujuan dari istri. Idealnya, jika syarat itu dipenuhi, suami dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Dalam praktek, syarat tersebut serang diterobos, poligami jalan terus tanpa persetujuan dari istri sebelumnya.

Karena itulah poligami mestinya jangan ditambatkan semata sebagai urusan pribadi. Ini adalah persoalan sosial, perkara relasi kuasa yang timpang atas kaum perempuan. Kalaupun pemerintah akan mengatur koreksi peraturan pemerintah untuk pegawai negeri, sebaiknya jangan merambat kepada masyarakat luas. Biarlah masyarakat mengaturnya sendiri, misalnya lewat revisi undang-undang. Pemerintah sebaiknya mengatur hal-hal lain yang jauh lebih mendesak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus