Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saiful Mujani
Analis politik, tinggal di Columbus, AS
PARTAI Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah partai baru, masih di bawah dua tahun. Tapi PKB telah menjadi salah satu partai besar di pentas politik nasional. Yang penting, partai ini berbasiskan NU, sebuah ormas Islam paling besar di Tanah Air, tapi dari awal PKB telah mencanangkan dirinya sebagai partai terbuka: berorientasi kebangsaan dan berasas Pancasila, bukan Islam. Atau setidaknya visi kebangsaan ini dipahami mencerminkan nilai-nilai Islam yang diyakini para pendiri partai ini. Karena itu, sebagai partai terbuka yang berorientasi kebangsaan, PKB bisa menjadi milik semua golongan dan lapisan masyarakat di Tanah Air. Dengan kata lain, PKB bisa menjadi catch-all party, partai yang bisa menarik seluruh komponen bangsa sekaligus menjadi perekat komponen-komponen bangsa yang sangat beragam itu.
Tentu saja masih terlalu dini bagi PKB untuk berkembang menjadi sebuah catch-all party tersebut, setidaknya kalau kita lihat dari profil massa pendukungnya. Massa pendukung PKB masih terbatas pada kelompok Islam (99 persen). Dan di antara yang Islam pun terbatas pada yang santri, yakni muslim yang taat menjalankan ritual Islam (misalnya berdoa, salat lima waktu, puasa Ramadan, ikut pengajian). Dibandingkan dengan massa pendukung partai-partai besar lain (PDI-P, PPP, Golkar, dan PAN), massa pendukung PKB adalah yang paling santri dilihat dari parameter itu. Massa pendukung PKB tampaknya juga yang paling masuk dalam jaringan sosial keagamaan, kalau kita lihat dari proporsi massa pemilih yang berpartisipasi atau terlibat dalam organisasi sosial. Mayoritas anggota masyarakat kita yang menyatakan diri terlibat dalam organisasi sosial-keagamaan hanya sekitar 38 persen. Dari mereka yang terlibat ini, proporsi massa pemilih PKB yang terlibat ormas adalah yang paling besar. Proporsi massa pemilih PKB yang sadar bahwa ormasnya mendukung partai tertentu adalah yang paling besar dibandingkan dengan partai-partai lain. Tidak hanya itu, proporsi massa pemilih PKB yang menyatakan bahwa keluarganya mendukung partai tertentu adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan proporsi massa pendukung partai-partai lain. Ini semua menunjukkan, proporsi keterikatan massa pemilih PKB dengan PKB sebagai partai politik adalah yang paling besar dibandingkan dengan pada partai-partai lain. Ini juga berarti hubungan antara massa pemilih PKB dan PKB sebagai partai adalah yang paling solid ketimbang yang terjadi pada partai-partai lain. Kenyataan ini tentu saja tidak mengejutkan karena PKB dibentuk oleh sebuah ormas, yakni NU, dan NU adalah organisasi para ulama yang punya hubungan kuat dengan jamaahnya. Kedekatan jamaah atau murid dengan kiai tampaknya begitu dalam dan emosional, seperti terlihat dalam cerita berikut ini. Suatu malam, seorang terpelajar muda NU yang telah mengenyam pendidikan pascasarjana dari sebuah universitas modern di Barat menangis. Pasalnya, sang santri ini mendengar kritik-kritik tajam dari rekannya tentang pemerintahan Presiden Gus Dur. Ia tidak bisa menerimanya karena menganggap sang Kiai telah dipersalahkan. Bagaimana mungkin sang Kiai, yang jadi panutan dan nyaris tanpa cela ini, dipersalahkan oleh rekannya yang awam, walaupun mereka sama-sama terpelajar? Kalau anak NU yang telah terpelajar ini saja punya hubungan emosional begitu hebat dengan kiainya yaitu Gus Dur, apalagi massa NU pada umumnya. Begitu kira-kira orang berspekulasi. Memang, massa pendukung PKB yang tingkat pendidikannya hanya setingkat sekolah dasar atau lebih rendah adalah yang paling besar (sekitar 67 persen) dibandingkan dengan massa pendukung partai-partai lain (PDI-P 57 persen, PPP 60 persen, Golkar 54 persen, dan PAN 24 persen). Massa pendukung PKB juga mayoritas (77 persen) dari daerah pedesaan. Proporsi ini hanya bisa disaingi oleh Golkar (juga sekitar 77 persen). Sebagai perbandingan, massa pemilih PDI-P yang berasal dari daerah pedesaan sebesar 64 persen, dan PAN sebesar 43 persen. Di samping itu, massa pemilih PKB mayoritas beretnis (berbahasa asli) Jawa (88 persen). Ini jauh di atas proporsi massa pemilih PDI-P (67 persen), apalagi Golkar (42 persen). Yang lebih penting lagi, proporsi tersebut jauh di atas proporsi etnis Jawa di Tanah Air, yang diperkirakan sekitar 45 persen. Kalau dilihat dari segi agama, pendidikan, wilayah desa-kota, dan etnis (Jawa versus non-Jawa) pada massa pendukung PKB, partai ini masih jauh dari harapan untuk menjadi partai besar yang secara proporsional mampu mengakomodasi elemen-elemen bangsa. Tantangan PKB agar menjadi partai besar yang berorientasi kebangsaan, proporsi yang nonsantri dan non-Islam, juga harus tecermin di dalamnya. Juga dalam hal proporsi tingkat pendidikan massa pemilih, PKB harus menggenjot dirinya agar bisa menaikkan proporsi massa pemilih yang relatif lebih tinggi tingkat pendidikannya, hingga komposisinya cukup proporsional dibandingkan dengan proporsi tingkat pendidikan massa pemilih Indonesia pada umumnya. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana caranya proporsi etnis massa pemilih PKB dapat diperluas hingga tidak terlalu bias Jawa. Usaha-usaha bagi perluasan daya jangkau PKB ini menjadi sangat penting karena para pendiri PKB sejak awal telah mendefinisikan partai ini bukan partai atas dasar Islam, bukan atas dasar kelompok etnis, bukan pula atas dasar kelas sosial, tapi atas dasar kebangsaan, tempat semua unsur tersebut harus terakomodasi secara proporsional. Upaya ini menjadi lebih relevan lagi dalam hubungannya dengan cita-cita elite PKB, seperti yang pernah dilontarkan Gus Dur, agar PKB menjadi salah satu dari dua partai besar di negeri ini. Kalau PKB masih mencerminkan bias santri, bias kelompok etnis, bias desa, dan bias kelas sosial seperti sekarang ini, PKB akan menjadi partai yang paling primordial (agama dan etnis) dan paling bersemangatkan kelas (pendidikan dan desa). Pertemuan antara bias primordialisme dan bias kelas ini bisa mendorong PKB menjadi partai yang punya ikatan emosional kuat dengan massa pemilihnya, yang akhirnya akan membuka kesempatan bagi elite PKB untuk lebih mudah memobilisasi massa pendukungnya untuk kepentingan mereka. Bias primordial dan bias kelas ini barangkali merupakan faktor yang membuat PKB dan para pendukungnya tidak tahan kritik dan caci-maki di pentas politik demokratis yang normal. Kritik terhadap Gus Dur, apalagi upaya untuk menjatuhkannya, dipandang bagaikan kiamat. Padahal, semua ini merupakan hal yang normal saja dalam politik elite. Elite PKB masih menghadapi tantangan berat agar partai ini mendekati visi kebangsaan yang dicanangkannya. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |