Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN pemerintah mencopot Direktur Utama Perum Bulog, Widjanarko Puspoyo, menyisakan banyak pertanyaan. Hanya sepekan setelah politisi PDI Perjuangan itu dijadikan tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan sapi impor dari Australia, dia langsung digantikan Mustafa Abubakar.
Alasan pergantian cepat ini terdengar masuk akal. Indonesia menghadapi kondisi darurat dengan banyaknya bencana alam. Cadangan beras pun menipis, dan harganya melonjak. Pemeriksaan atas Widjanarko dikhawatirkan membuat tugas Bulog terbengkalai.
Argumentasi yang tak salah. Hanya, terkesan ada yang spesial dalam kasus Widjanarko: dia satu-satunya pejabat yang menjadi tersangka korupsi dan langsung diganti. Puluhan pejabat dan juga pimpinan perusahaan milik negara yang menjadi tersangka kasus korupsi hanya dinonaktifkan.
Gubernur Aceh Abdullah Puteh, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi, Direktur Utama PT PLN Eddie Widiono, atau Direktur Utama PT Pupuk Kaltim Omay K. Wiraatmadja, tidak langsung dicopot. Untuk menjalankan tugas mereka, pemerintah menunjuk caretaker atau pelaksana tugas. Bahkan Akbar Tandjung, yang sudah divonis bersalah di pengadilan tingkat pertama dan pengadilan banding kasus Bulog, masih bisa menduduki jabatan Ketua DPR. Syahril Sabirin tetap bertakhta sebagai Gubernur Bank Indonesia walau status tersangka sudah menempel dalam kasus Bank Bali.
Untuk membela para pejabatnya, biasanya pemerintah memakai dalih asas praduga tak bersalah. Seorang pejabat dianggap belum bersalah oleh pemerintah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sebuah pendapat keliru yang kerap diusung. Tapi, dalam kasus Widjanarko, pembelaan pemerintah tak terdengar. Padahal, bila nilai strategis lembaga yang jadi alasan, seharusnya Direktur Utama PLN Eddie Widiono yang dulu tersangka, sudah harus ikut diganti mengingat betapa strategisnya PLN sebagai satu-satunya pemasok listrik negeri ini. Faktanya, Eddie tidak diganti. Aroma ”politik” tak terelakkan dalam penggantian Widjanarko.
Hanya pemerintah yang bisa menjawab mengapa tokoh yang berafiliasi ke PDI Perjuangan diganti dengan tokoh pilihan Partai Golkar. Tidak ada yang tahu uji kepantasan dan kelayakan seperti apa yang dijalankan untuk Mustafa Abubakar, bekas pelaksana tugas Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, sehingga pemerintah memilihnya. Biasanya uji kepantasan berlangsung beberapa tahap dan memakan waktu berbulan-bulan. Tapi Mustafa lewat jalan bebas hambatan rupanya.
Pertanyaan lain: kalau benar posisi Bulog gawat, mengapa justru Mustafa yang awam dalam urusan perberasan yang diangkat. Seharusnya direktur Bulog yang masih tersisa lebih mengerti soal beras. Berbagai pertanyaan itu pada akhirnya bermuara pada pertanyaan besar: benarkah pemerintah mengabaikan latar belakang partai pendukung dua orang pejabat itu?
Andaikan dengan pencopotan Widjanarko pemerintah ingin memberikan sinyal bahwa usaha memberantas korupsi kian serius, masyarakat perlu bersyukur. Tapi usaha itu perlu disusul oleh pencopotan pejabat lain yang ditengarai korupsi. Dengan begitu, kesan politis bisa dielakkan.
Tapi, jika pencopotan berhenti hanya untuk Widjan, itu berarti pemerintah melakukan politik tebang pilih. Sesuatu yang tercela. Banyak pihak akan mudah beranggapan bahwa penggantian Widjan merupakan pertarungan pemanasan antara dua partai besar menjelang Pemilu 2009. Kesan yang perlu dikoreksi oleh pemerintah: politik sudah menumbangkan meritokrasi dalam kasus Bulog ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo