Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Perwakilan Rakyat sekali lagi menunjukkan kelihaiannya bekerja. Mereka sukses, tapi bukan dalam tugasnya sebagai pembuat undang-undang, melainkan berhasil memasukkan anggaran untuk membangun gedung sendiri. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang nyaris batal disahkan tiba-tiba menjadi mulus. Sehari menjelang tenggat reses, Dewan berhasil meloloskan APBN. Untuk kerja "cerdas" itu, DPR mendapat anggaran Rp 564 miliar.
Anggaran pembangunan gedung DPR itu beraroma tawar-menawar dengan eksekutif. Semula Dewan mengusulkan Rp 740 miliar—entah gedung mana yang akan dibangun lebih dulu. Yang luar biasa: DPR punya mimpi membangun tujuh proyek dengan nilai total Rp 2,7 triliun. Namun belakangan proyek itu diubah menjadi tinggal tiga dengan nilai Rp 2,08 triliun. Proyek-proyek itu akan didanai APBN dengan mekanisme tahun jamak, yaitu APBN tahun 2016, 2017, dan 2018. Presiden Joko Widodo cenderung menolak, bahkan tak mau menandatangani prasasti megaproyek itu pada kunjungannya ke DPR, 16 Agustus lalu.
Sangat beralasan anggaran Rp 564 miliar itu dipertanyakan. Proses pembahasannya tidak transparan. Sebagian anggota fraksi pun tidak pernah membahas soal itu. Barangkali ini lantaran rencana DPR membangun gedung itu sudah muncul sejak 2011 dan selalu mendapat penolakan dari masyarakat. Persetujuan anggaran kali ini diduga merupakan hasil kompromi pemerintah dengan kekuatan mayoritas di Dewan yang sejak awal berkeras mengegolkan proyek mahal itu.
Bau politik transaksional meruap dari proyek ini. Presiden Jokowi bisa dituduh tidak konsisten menolak pembangunan megaproyek gedung DPR dengan mengabulkan anggaran yang cuma dikoreksi seadanya. Ini berdampak buruk pada APBN selanjutnya karena Dewan bisa ngotot lagi meminta anggaran dengan alasan, misalnya, proyek sudah telanjur berjalan. Alasan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yang menyebutkan anggaran DPR itu sebagai hak sebuah lembaga negara tak sepenuhnya bisa diterima. Prioritas anggaran semestinya diletakkan pada rakyat yang memerlukan dana besar untuk perbaikan infrastruktur perdesaan.
Dewan tidak pernah belajar dari derasnya penolakan publik terhadap rencana megaproyek itu. Mereka selalu beralasan gedung yang ada sangat tidak layak ditempati. Mereka merasa kesesakan bekerja di ruang yang sempit lantaran setiap anggota Dewan memerlukan anggota staf ahli yang lebih banyak. Padahal anggota staf ahli yang banyak itu—sampai tujuh orang—tidak mencerminkan hasil kerja Dewan selama ini. Target Dewan dalam bilang legislasi sangat minim. Rancangan undang-undang menumpuk di Senayan.
Taktik Dewan mendapatkan anggaran membuat gedung dengan memanfaatkan pembahasan rancangan APBN 2016 juga berbau licik. Para politikus itu seperti mengancam tidak akan mengesahkan APBN jika proyek gedung tidak disetujui. Pemerintah bisa tersudut kalau APBN tak disahkan karena akan terpaksa menjalankan pemerintahan dengan APBN sebelumnya, yang tentu tak sejalan dengan program yang dicanangkan.
Jika benar posisinya seperti itu, penyusunan anggaran dengan ancaman jelas tidak sesuai dengan Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Keuangan Negara. Kedua undang-undang ini mensyaratkan penyusunan serta pembahasan rancangan anggaran yang demokratis, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dewan harus malu dan sebaiknya memang proyek gedung DPR itu dilupakan saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo