Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH pria berpeci putih menyetop siapa pun yang bermaksud masuk ke kompleks Markaz Syariah di Desa Kuta, Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Lokasi pondok pesantren yang diasuh pemimpin Front Pembela Islam, Rizieq Syihab, itu masih berjarak tiga kilometer dari titik "pemeriksaan". Tapi, Rabu pekan lalu, para pria berpeci itu menanyakan maksud kedatangan dengan rinci, lalu mengecek kartu identitas pengunjung.
Hingga dua pekan lalu, penjagaan tak seketat itu. Anggota FPI yang berjaga di sana biasanya hanya dua-tiga orang. "Kami mendapat instruksi dari pengurus agar tidak mengizinkan warga atau wartawan masuk ke pondok," kata seorang penjaga. Pengurus yang memberikan perintah tak lain adalah Rizieq Syihab. "Kalau ada kendaraan masuk, tanya siapa. Kalau mencurigakan, jangan segan-segan minta buka bagasinya," ujar Rizieq ketika berceramah di hadapan santrinya di Markaz Syariah, dua pekan lalu.
Belakangan ini Rizieq rupanya khawatir ada orang yang hendak menyusup ke kompleks pesantren untuk menjebak dia. Misalnya dengan cara mengubur senjata api di sekitar area pondok. "Tahu-tahu ada 50 granat, ada 20 AK-47, ada bazoka." Dengan begitu, kata Rizieq, dia bisa dituduh menyembunyikan senjata karena ingin memberontak kepada Republik. "Padahal di sini cuma ada cangkul."
Sebelum meminta pengikutnya menambah kewaspadaan, di awal ceramahnya, Imam Besar FPI ini juga menyinggung latihan tim Brigade Mobil dari Kepolisian Daerah Jawa Barat yang saat itu berlangsung tak jauh dari Markaz Syariah. Rizieq meminta pengikutnya tidak terprovokasi dan tidak mengganggu latihan polisi. "Apalagi judul latihan perangnya ’Melawan Kelompok Radikal dan Anti-Pancasila’. Memangnya di Megamendung ada yang anti-Pancasila? Tidak ada.... Di sini benderanya masih Merah Putih semua."
Dua pekan lalu, mulai Kamis hingga Ahad, 80 personel Brigade Mobil bersenjata lengkap dari Polda Jawa Barat memang berlatih di Megamendung. Kepala Kepolisian Resor Bogor Ajun Komisaris Besar Andi Muhammad Dicky Pastika mengatakan dia juga terkejut ketika tahu lokasi latihan polisi bersebelahan dengan Markaz Syariah. "Kok, di sana berdiri bangunan-bangunan megah?" kata Dicky.
Belakangan, Dicky mendapat kabar bahwa Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI menerima laporan tentang dugaan pemakaian lahan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) secara ilegal oleh Markaz Syariah sejak Kamis tiga pekan lalu. Sepekan setelah menerima pengaduan, pada Selasa dan Jumat pekan lalu, polisi turun ke lapangan untuk melakukan investigasi.
Di Badan Pertanahan Nasional, menurut Dicky, lahan yang digunakan Markaz Syariah di Afdeling Cikopo Selatan ternyata masih terdaftar atas nama PTPN VIII Gunung Mas. Setelah ditelusuri, Markaz Syariah pun tak mengantongi izin mendirikan bangunan. Pesantren juga tak punya izin pendirian dari Kementerian Agama dan dinas pendidikan. "Maka kami pertanyakan kok bisa mendirikan bangunan? Punya izin atau tidak?" kata Dicky.
Pengelola Markaz Syariah menyanggah telah menyerobot lahan PTPN. Menurut kuasa hukum FPI, Kapitra Ampera, lahan dibeli secara bertahap dari penggarap. "Dokumen-dokumennya, legalitasnya, ada," ujar Kapitra.
Berdiri pada 2015, pesantren alam dan agrokultura Markaz Syariah dihuni sekitar 50 santri. Selain masjid, di kompleks itu berdiri kobong, aula, dan pondok untuk guru dan tamu. Berdasarkan informasi di situs FPI, Markaz Syariah menerapkan kurikulum salafiyyah, seperti yang berkembang di pesantren-pesantren tradisional. Selain belajar ilmu agama, santri belajar cara bertani dan berkebun di lahan dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut itu. Saban bulan, tiap santri diminta membayar infak Rp 1 juta.
Menurut Camat Megamendung Hadijana, lahan yang kini dikuasai Markaz Syariah luasnya sekitar 3,96 hektare. Lahan terletak di wilayah dua desa, Desa Kuta dan Desa Sukagalih. Sebagian besar lahan masuk wilayah Desa Kuta. Hadijana bercerita, Rizieq mengambil alih lahan garapan warga itu pada 2013. Kala itu Rizieq berbekal surat tanda bukti oper alih lahan garapan dari seorang warga bernama Beni. Kesepakatan itu ditandatangani di atas meterai, disaksikan ketua rukun tetangga, ketua rukun warga, dan kepala desa setempat.
Direktur Manajemen Aset PTPN VIII Gunara menerangkan, lahan yang kini dikuasai Markaz Syariah sebelumnya merupakan lahan PTPN yang diserobot penduduk sekitar. Hingga 1998, seluruh area Gunung Mas masih dikuasai PTPN. Setelah reformasi, sejumlah area ditempati masyarakat secara ilegal. Dari 1.623 hektare lahan milik PTPN di sana, yang diserobot mencapai 352 hektare. "Tapi di BPN sertifikatnya masih atas nama PTPN," kata Gunara.
Masalah tambah pelik karena para penggarap ilegal menjual lagi lahan melalui calo tanah yang disebut biyong. Para biyong itulah yang menawarkan tanah perkebunan kepada orang Bogor dan Jakarta yang ingin punya vila di sana dengan harga berlipat. Meski tanpa sertifikat, harga tanah di Megamendung terbilang tinggi, Rp 400 ribu-Rp 1 juta per meter persegi.
Markaz Syariah pernah mengurus sertifikat lahan di Megamendung ke Badan Pertanahan Nasional. Tapi upaya itu mentok lantaran lahan masih tercatat atas nama PTPN. Pada 21 Mei 2013, Markaz Syariah menyurati PTPN untuk meminta hak guna lahan seluas 33 hektare dengan dalih corporate social responsibility (CSR). Menguatkan permintaan itu, Markaz Syariah meminta rekomendasi kepada Bupati Bogor dan Gubernur Jawa Barat, yang kemudian menyurati PTPN.
Permohonan atas nama CSR itu tak digubris PTPN. Rekomendasi dari dua kepala daerah pun tak mempan. "Bagi-bagi tanah untuk CSR itu tidak bisa," kata Gunara.
Pada April 2014, Markaz Syariah kembali menyurati PTPN. Mereka mengajukan proposal baru. Persil yang diminta kali ini bukan lagi 33 hektare, melainkan 40 hektare. Tapi PTPN tak merespons permintaan itu.
Tak ada korespondensi sepanjang 2015, Markaz Syariah kembali menyurati PTPN pada 1 April 2016. Kali ini Markaz Syariah memberi tahu PTPN bahwa mereka telah mengambil alih lahan garapan masyarakat seluas 50 hektare di Afdeling Cikopo Selatan. Dalam suratnya, Markaz Syariah juga mengabari bahwa mereka telah membangun pembangkit listrik 157 ribu watt untuk menerangi pesantren, mendirikan sejumlah bangunan di kompleks pesantren, dan mengaspal jalan sepanjang 7 kilometer dengan lebar 6 meter. Semua surat diteken oleh Rizieq Syihab selaku pengasuh pesantren.
Menurut Gunara, PTPN sebenarnya telah merancang sejumlah langkah antisipasi agar lahan mereka tak disalahgunakan "peminjam". Antara lain, PTPN merancang perjanjian dengan klausul bahwa kerja sama dibatasi selama 10 tahun dan bisa diakhiri secara sepihak oleh PTPN.
Untuk antisipasi keamanan, PTPN juga telah menghibahkan lahan untuk latihan militer kepada Komando Resor Militer 061/Suryakencana, Bogor. Lahan itu hanya berjarak 200-300 meter dari kompleks Markaz Syariah, terpisah lembah yang menjadi bagian Taman Nasional Gede Pangrango. Kaveling itulah yang dua pekan lalu dipakai untuk latihan oleh Brigade Mobil Polda Jawa Barat.
Menurut Gunara, hingga kini PTPN belum melepas lahan yang ditempati Markaz Syariah. "Kami hentikan dulu prosesnya," katanya. "Apalagi setelah ada ramai-ramai seperti sekarang."
Anton Septian | Rezki Alvionitasari (Jakarta) | Sidik Permana (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo