Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMILIHAN umum akan berlangsung tahun ini. Suhu politik pun menghangat. Mereka yang mencalonkan diri menjadi presiden telah sibuk berkampanye dan mencari pasangan calon presiden yang dianggap sesuai untuk memenangi peraihan suara rakyat. Berbagai jajak pendapat telah dilangsungkan dan hasilnya dijadikan bahan oleh sebagian pendukung para kontestan untuk menyusun pasangan. Ada calon yang tiba-tiba melejit popularitasnya setelah berkampanye, sebaliknya ada yang justru meredup. Bahkan mulai beredar hasil survei yang berbeda karena penyelenggaranya juga beragam. Kekacauan dan hiruk-pikuk ini pun meruapkan pertanyaan: bagaimana seharusnya memilih pemimpin sebuah bangsa?
Jawabannya bermacam-macam. Maklum, banyak cara telah diterapkan di dunia dengan beragam hasil. Di Indonesia pun telah dicoba beberapa pola. Sekarang, setelah era reformasi bergulir, konstitusi jelas-jelas menentukan Indonesia menjalankan sistem demokratis dengan mekanisme pemilihan langsung untuk menetapkan pasangan presiden dan wakilnya. Namun, yang belum jelas benar adalah bagaimana membangun paradigma yang pas agar cara konstitusional ini menghasilkan pemimpin yang tak hanya populer tapi juga berkemampuan.
Kekhawatiran akan terpilihnya pemimpin yang populer tapi tak berkemampuan memang cukup banyak dikumandangkan pengamat belakangan ini. Alasan utama yang kerap diutarakan ”kaum terpelajar” adalah masih rendahnya tingkat pendidikan warga di Indonesia, sehingga muncul ungkapan sinis: ”karena mayoritas penduduk masih bodoh, sistem pemilihan langsung akan menghasilkan pemimpin pilihan orang bodoh”, yang akan membawa negara ke kehancuran.
Ungkapan seperti ini tak hanya sinis, tapi juga jumawa dan—mohon maaf—kedaluwarsa. Secara tertulis pikiran kuno ini telah dikumandangkan oleh Plato, hampir 2.400 tahun silam. Dalam buku The Republic itu pemikir Yunani yang kecewa berat atas sistem demokrasi di Athena yang menghukum mati gurunya itu merindukan pemerintahan ”raja filsuf”, yang disiapkan untuk memimpin sejak kecil. Para birokrat pun diimpikan sebagai orang pilihan, yang menjalani sekolah khusus sejak anak-anak. Hanya di bawah ”philosopher king” sebuah bangsa akan mengalami kejayaan.
Gagasan ini sudah dikritik sejak awal, bahkan oleh murid kebanggaan Plato. Aristoteles tak dapat menerima Teori Bentuk gurunya, yang mengasumsikan semua hal di dunia ini hanya bayang-bayang cacat dari yang sempurna di alam gaib. Ia menolak pandangan rasionalisme bahwa pengetahuan mendahului pengalaman, dan mempromosikan aliran empirisme, bahwa pengalaman yang membangun pengetahuan.
Perdebatan pada tiga abad sebelum Masehi ini berulang hampir tiga abad silam di Amerika Serikat. Dalam polemik tertulis antara Alexander Hamilton dan Thomas Jefferson, pendekatan elitis dan populis dalam menyusun konstitusi Amerika Serikat dibenturkan. Beruntung Thomas Jefferson, yang meyakini kesetaraan hak politik setiap manusia, berhasil meyakinkan teman seperjuangannya itu, dan kini Amerika Serikat menjadi negara terjaya di dunia.
Sebaliknya, kira-kira satu abad silam, para pengikut Plato mendominasi pendiri negara Uni Soviet. Partai Komunis didirikan untuk menjadi tempat khusus menggembleng calon-calon pemimpin politik. Hanya mereka yang telah melalui saringan berlapis-lapis akan menduduki jabatan di politbiro, sebuah institusi yang anggotanya dianggap berkemampuan setingkat ”raja filsuf”. Institusi yang ternyata justru membawa negara ke arah kehancuran hanya dalam tempo tujuh dekade saja. Kini Uni Soviet yang pernah menjadi negara adidaya itu tak ada lagi, terpecah menjadi banyak negara yang hubungannya tak selalu mesra.
Tapi sistem demokrasi yang populis pun punya catatan tragis seperti yang dialami Socrates, guru Plato yang dihukum minum racun. Adolf Hitler dan Mussolini adalah dua pemimpin yang dipilih rakyat dalam pemilihan umum, dan keduanya membawa negara mereka ke kehancuran. Hanya, perlu disimak bahwa keduanya membunuh demokrasi ketika berkuasa. Ini fakta empiris. Ini pengalaman Jerman dan Italia.
Maka pengalaman di banyak negara ini yang harus menjadi pengetahuan kita bersama. Bahwa memilih pemimpin bangsa yang terbaik memanglah melalui sistem demokratis. Dan, yang lebih penting, hanya dengan memelihara kesehatan demokrasi yang memastikan para pemimpin itu akan tetap baik. Soalnya, bila menyimpang pasti akan diganti.
Maka tak usah khawatir pemilihan langsung akan menghasilkan pemimpin yang salah. Selama sistem demokrasi tetap berjalan, koreksi selalu dapat dilakukan. Memang tingkat pendidikan rakyat Indonesia sekarang ini masih rendah, tapi toh tetap lebih tinggi ketimbang penduduk Amerika Serikat 300 tahun silam. Selama kemerdekaan berpendapat dan kebebasan pers terjaga, rakyat akan memilih pemimpin yang terbaik dan memaksanya untuk tetap baik. Bukti empiris menunjukkan: pada akhirnya kebijaksanaan kolektif cenderung lebih baik dari kebijaksanaan individu. Itu sebabnya Socrates pun memilih minum racun ketimbang kabur mengikuti nasihat murid kesayangannya, Plato.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo