PETUAH bung Mahbub Djunaidi buat Parpol dan Golkar, supaya tidak
salah langkah dalam Pemilu 1977: "Perlu berpegang kuat-kuat pada
UU No. 3/ 1975. Di samping perlu pula meneliti kembali Peraturan
Pemerintah No. 9/ 1976"(TEMPO, 24 April 1976). Sebab, tutur bung
Mahbub lebih lanjut: "siapa tahu ada hal-hal baru yang tak
terduga sebelumnya".
Jadi, misteri apakah gerangan yang begitu tak terduga di balik
selubung petuah tersebut? Boleh jadi lantaran telah disingkap
sampai agak telanjang oleh bung Mahbub dalam tulisannya yang
berjudul Peraturan Pemerintah No. 9/1976 dan 'Judicial Review'
(Kompas, 17 April 1976). Di balik singkapan tersebut tampak
menonjol dua hal yang lumayan vital. Sebagai misal: perbenturan
antara PP No. 9/1976 fasal 5 ayat 2 dengan UU No. 3/1975 fasal
10 ayat 1. Kedua: PP No. 9/1976 fasal 6 ayat 2 & 3, dengan UU
No. 3/1975 fasal 1 ayat 2 dan fasal 5. Satu di antara dua
tonjolan ini, yang saya anggap sexy untuk diamati berhubung efek
negatif yang dapat timbul dan sekaligus merupakan penyakit bagi
Pemilu 1977, adalah perbenturan PP No.9/ 1976 fasal 6 ayat 2 & 3
dengan UU No. 3/1975 fasal 1 ayat 2 dan fasal 5.
Sebab tasal 6 ayat 2 yang terpagut dalam PP No. 9/1976 justru
bisa memperciut hak dan kedaulatan anggota Parpol/Golkar yang
tinggal di kecamatan/desa. Padahal bukankah UU No. 3/1975 fasal
1 ayat 2 ada menyatakan, bahwa sebagai anggota, mereka mempunyai
kedudukan/fungsi/hak dan kewajiban yang sama dan sederajat?
Kemudian fasal 6 ayat 3 yang terpeluk dalam PP No. 9/ 1976
justru bisa pula berakibat mempersulit Parpol/Golkar untuk
melaksanakan fungsinya. Sedang dalam UU No. 3/1975 fasal 5,
tidakkah Parpol/Golkar untuk melaksanakan fungsinya?
Lalu apa maksud dan tujuan Pemilu sendiri? Menurut Mendagri
Amirmachmud, dilihat dari sistim ketatanegaraan, jawabnya sudah
jelas: "Pemilu adalah sarana Demokrasi untuk membentuk suatu
sistim kekuasaan negara yang hakekatnya lahir dari bawah,
menurut kehendak rakyat. Hingga terbentuklah kekuasaan negara
yang benar-benar memancarkan ke bawah suatu kewibawaan yang
sesuai dengan keinginan rakyat, karena kewibawaan tersebut
berasal dari rakyat melalui sistim permusyawaratan perwakilan"
(Forum, No. 25 tahun Ke-V). Nah, kalau Pemilu merupakan salah
satu sarana pengembangan Demokrasi dan bertungsi pula sebagai
alat menyehatkan Demokrasi, tidakkah PP No. 9/1976 fasal 6 ayat
2 & 3 itu sendiri justru mempersulit serta mempersempit
perkembangan demokrasi? Bagaimana demokrasi akan sehat dan
berkembang kalau hak dan kedaulatan anggota Parpol/Golkar di
kecamatan maupun di Desa, dipersempit'? Bilakah demokrasi tidak
akan sakit-sakitan dan mandeg, kalau Parpol/Golkar sulit
melaksanakan fungsinya'? Bukankah sedikit banyak perkembangan
dan penyehatan demokrasi tergantung dari fungsi Parpol/Golkar
serta dari hak dan kedaulatan mereka-mereka (anggota
Parpol/Golkar) yang tinggal di kecamatan/ esa?
Kemudian bila berhubung dengan masalah di atas atau sejenisnya,
lantas muncul lagi semacam Golput atau pendapat rakyat yang
'bernada sumbang', tidahkah perlu bagi pemerintah untuk mawas
diri/introspeksi? Sebab kisah 'Pemilu di hari-hari kemarin
sedikit banyak telah menimbulkan rangsangan untuk lebih dari
sekedar bertanya. Maka ditambah dengan PP No. 9/ 1976 khususnya
fasal 6 ayat 2 & 3, tidakkah mustahil rangsangan itu bisa
membuat kian maniak atau histeris? Lantas tidakkah kisah Pemilu
hari kemarin ini digunakan sebagai literatur oleh konseptor pola
politik nun di pusat kekuasaan sana, untuk menyusun kisah Pemilu
yang lebih manis di hari esok?
Soalnya bukan tidak mungkin, lewat rahim yang berteteskan
pendapat rakyat yang konon dianggap sumbang dan sebagainya itu,
justru dari sanalah lahirnya bayi aspirasi yang tidak jadah!
HASAN BARAJA
Sos-Pol/Publisistik
UNS Sebelas Maret
Surakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini