Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

PP no.9/1976

Pp no.9/1976 dianggap mempersulit perkembangan demokrasi karena kedaulatan anggota parpol/golkar di tingkat kecamatan dipersempit. Diharapkan konseptor pola politik di pusat dapat mengatur pemilu. (kom)

12 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETUAH bung Mahbub Djunaidi buat Parpol dan Golkar, supaya tidak salah langkah dalam Pemilu 1977: "Perlu berpegang kuat-kuat pada UU No. 3/ 1975. Di samping perlu pula meneliti kembali Peraturan Pemerintah No. 9/ 1976"(TEMPO, 24 April 1976). Sebab, tutur bung Mahbub lebih lanjut: "siapa tahu ada hal-hal baru yang tak terduga sebelumnya". Jadi, misteri apakah gerangan yang begitu tak terduga di balik selubung petuah tersebut? Boleh jadi lantaran telah disingkap sampai agak telanjang oleh bung Mahbub dalam tulisannya yang berjudul Peraturan Pemerintah No. 9/1976 dan 'Judicial Review' (Kompas, 17 April 1976). Di balik singkapan tersebut tampak menonjol dua hal yang lumayan vital. Sebagai misal: perbenturan antara PP No. 9/1976 fasal 5 ayat 2 dengan UU No. 3/1975 fasal 10 ayat 1. Kedua: PP No. 9/1976 fasal 6 ayat 2 & 3, dengan UU No. 3/1975 fasal 1 ayat 2 dan fasal 5. Satu di antara dua tonjolan ini, yang saya anggap sexy untuk diamati berhubung efek negatif yang dapat timbul dan sekaligus merupakan penyakit bagi Pemilu 1977, adalah perbenturan PP No.9/ 1976 fasal 6 ayat 2 & 3 dengan UU No. 3/1975 fasal 1 ayat 2 dan fasal 5. Sebab tasal 6 ayat 2 yang terpagut dalam PP No. 9/1976 justru bisa memperciut hak dan kedaulatan anggota Parpol/Golkar yang tinggal di kecamatan/desa. Padahal bukankah UU No. 3/1975 fasal 1 ayat 2 ada menyatakan, bahwa sebagai anggota, mereka mempunyai kedudukan/fungsi/hak dan kewajiban yang sama dan sederajat? Kemudian fasal 6 ayat 3 yang terpeluk dalam PP No. 9/ 1976 justru bisa pula berakibat mempersulit Parpol/Golkar untuk melaksanakan fungsinya. Sedang dalam UU No. 3/1975 fasal 5, tidakkah Parpol/Golkar untuk melaksanakan fungsinya? Lalu apa maksud dan tujuan Pemilu sendiri? Menurut Mendagri Amirmachmud, dilihat dari sistim ketatanegaraan, jawabnya sudah jelas: "Pemilu adalah sarana Demokrasi untuk membentuk suatu sistim kekuasaan negara yang hakekatnya lahir dari bawah, menurut kehendak rakyat. Hingga terbentuklah kekuasaan negara yang benar-benar memancarkan ke bawah suatu kewibawaan yang sesuai dengan keinginan rakyat, karena kewibawaan tersebut berasal dari rakyat melalui sistim permusyawaratan perwakilan" (Forum, No. 25 tahun Ke-V). Nah, kalau Pemilu merupakan salah satu sarana pengembangan Demokrasi dan bertungsi pula sebagai alat menyehatkan Demokrasi, tidakkah PP No. 9/1976 fasal 6 ayat 2 & 3 itu sendiri justru mempersulit serta mempersempit perkembangan demokrasi? Bagaimana demokrasi akan sehat dan berkembang kalau hak dan kedaulatan anggota Parpol/Golkar di kecamatan maupun di Desa, dipersempit'? Bilakah demokrasi tidak akan sakit-sakitan dan mandeg, kalau Parpol/Golkar sulit melaksanakan fungsinya'? Bukankah sedikit banyak perkembangan dan penyehatan demokrasi tergantung dari fungsi Parpol/Golkar serta dari hak dan kedaulatan mereka-mereka (anggota Parpol/Golkar) yang tinggal di kecamatan/ esa? Kemudian bila berhubung dengan masalah di atas atau sejenisnya, lantas muncul lagi semacam Golput atau pendapat rakyat yang 'bernada sumbang', tidahkah perlu bagi pemerintah untuk mawas diri/introspeksi? Sebab kisah 'Pemilu di hari-hari kemarin sedikit banyak telah menimbulkan rangsangan untuk lebih dari sekedar bertanya. Maka ditambah dengan PP No. 9/ 1976 khususnya fasal 6 ayat 2 & 3, tidakkah mustahil rangsangan itu bisa membuat kian maniak atau histeris? Lantas tidakkah kisah Pemilu hari kemarin ini digunakan sebagai literatur oleh konseptor pola politik nun di pusat kekuasaan sana, untuk menyusun kisah Pemilu yang lebih manis di hari esok? Soalnya bukan tidak mungkin, lewat rahim yang berteteskan pendapat rakyat yang konon dianggap sumbang dan sebagainya itu, justru dari sanalah lahirnya bayi aspirasi yang tidak jadah! HASAN BARAJA Sos-Pol/Publisistik UNS Sebelas Maret Surakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus