Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PATUT disayangkan, seleksi hakim konstitusi berlangsung sembrono dan tergesa-gesa. Wahiduddin Adams dan Aswanto terpilih menggantikan Akil Mochtar dan Harjono. Akil dipecat karena terlibat kasus suap. Adapun Harjono pensiun akhir Maret ini.
Telah lama jadi kasak-kusuk, Wahiduddin dan Aswanto tak punya prestasi cemerlang. Wahiduddin bekas pejabat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang tak menonjol. Adapun Aswanto adalah Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang dituding memberikan kesaksian meringankan terhadap sejumlah terdakwa kasus korupsi.
Panitia seleksi bekerja tak maksimal. Alih-alih mengejar bola-mencari orang-orang baik, lalu meminta mereka mendaftar-panitia cuma menjadi "penjaga warung" yang menanti "pembeli" datang. Akibatnya, yang muncul adalah kandidat ala kadarnya: mereka yang tak terbukti punya pengetahuan hukum cukup untuk mengatasi perkara di Mahkamah.
Ada calon yang tak paham ultra petita-konsep dasar yang artinya putusan hakim melebihi apa yang diminta penggugat. Ada pula yang gelagapan ketika ditanyai apa dasar konstitusional pemilihan umum. Bahkan ada calon yang mengaku tak pernah membaca Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Rekam jejak sejumlah calon pun meragukan. Salah satu calon yang belakangan mundur ternyata pernah tersangkut kasus pembobolan bank.
Panitia seleksi memang harus bekerja cepat untuk melengkapi hakim konstitusi, yang menurut undang-undang jumlahnya harus sembilan. Ketika mengambil putusan di sidang paripurna, tujuh hakim harus hadir. Satu saja absen, putusan tak bisa diketuk.
Kekurangan jumlah hakim ini berbahaya karena pembahasan perkara sengketa pemilihan umum-salah satu tugas Mahkamah Konstitusi-bukan tak punya tenggat. Putusan sengketa pemilihan kepala daerah, misalnya, harus diambil 14 hari setelah kasus didaftarkan. Jika, misalnya, seorang hakim sakit menjelang hari akhir, gugatan sengketa pemilihan kepala daerah batal demi hukum.
Untuk itu, Dewan Perwakilan Rakyat semestinya kreatif mengatasi keadaan. DPR, misalnya, bisa meloloskan satu dari dua hakim yang diajukan. Cara ini dilakukan agar Mahkamah punya tambahan satu hakim "cadangan". Adapun seorang lainnya bisa dipilih dengan mengulang proses seleksi.
Di masa depan, proses penjaringan hakim mesti dibuat lebih ketat. Panitia seleksi harus dibentuk jauh-jauh hari agar tersedia waktu untuk berburu kandidat. Pelibatan lembaga swadaya masyarakat, akademikus, dan unsur publik lain perlu dilakukan untuk meluaskan pilihan.
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sudah selayaknya diamendemen. Sebelumnya, pemerintah sudah mengajukan peraturan pengganti untuk merevisi undang-undang tersebut. Satu yang terpenting dari peraturan itu adalah proses seleksi yang tak lagi menggunakan sistem kuota. Selama ini, sembilan hakim konstitusi merupakan jatah tiga lembaga: pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung. Pembagian jatah ini menjadikan Mahkamah Konstitusi lebih mirip institusi politik ketimbang lembaga penjaga konstitusi. Sayangnya, peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang sudah disahkan DPR itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui proses judicial review.
Tanpa amendemen, nasib Mahkamah Konstitusi tak akan banyak berubah. Kasus Akil bukan tak mungkin terulang kembali.
berita terkait di halaman 90
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo