Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MULAI pekan depan, bersiaplah menghadapi ingar-bingar kampanye pemilihan umum. Rapat umum akan digelar di seantero kota, biasanya tak ketinggalan arak-arakan kendaraan bermotor. Televisi dan media cetak bakal dipenuhi "rayuan" untuk mencoblos partai atau calon anggota legislatif pada 9 April nanti.
Artinya, ratusan miliar atau mungkin triliunan rupiah segera keluar dari kantong peserta pemilu. Calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Daerah yang sudah membayari tim sukses, mencetak stiker, dan memajang baliho masih perlu tambahan pengeluaran cukup besar. Seorang intelektual muda muslim yang menjadi "caleg" dikabarkan mengeluarkan tak kurang dari Rp 1 miliar. Bahkan anak seorang menteri masa Orde Baru ditaksir menebar sekitar Rp 10 miliar.
Sumber dana itu bisa dari kocek sendiri ataupun sumbangan. Undang-Undang Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 memang mengatur batas maksimum sumbangan dari perorangan atau perusahaan. Tapi tak ada aturan yang mewajibkan calon anggota DPR melaporkan jumlah dana kampanye kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Yang ada hanyalah nota kesepahaman antara KPU dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), semacam imbauan agar calon anggota DPR melaporkan dana kampanye.
Dengan aturan "tanggung" seperti itu, pengawasan sumbangan untuk calon legislator sepenuhnya tergantung partai. Para "caleg" tak punya beban melapor lantaran bebas dari ancaman pidana dalam undang-undang pemilu. Calon legislator juga tak diwajibkan KPU membuka rekening khusus di bank untuk menampung sumbangan; partailah yang harus melakukannya. Partai pula yang dituntut melakukan audit dan melaporkannya ke KPU.
Kelemahan aturan ini membuka celah masuknya "penyumbang gelap". Para "dermawan" yang terhadang aturan batas maksimum dengan sedikit trik saja bisa menggelontorkan sumbangan sebesar apa pun ke alamat partai melalui calon legislatornya. Tentu sumbangan model begini tak akan dilaporkan dengan seterang-terangnya. PPATK pun akan sulit melacak bila sumbangan diberikan dalam bentuk tunai-misalnya.
Indikasi bahwa dana kampanye yang ditebarkan partai, termasuk calon legislatornya, jauh lebih besar daripada yang dilaporkan bukanlah dugaan kosong. Laporan dana kampanye partai sampai tahap kedua menunjukkan hal itu. Sejumlah partai mengaku mengumpulkan dana kampanye di atas Rp 250 miliar, yang lain melaporkan angka di bawah Rp 100 miliar. Angka itu menunjukkan setiap calon legislator memiliki dana kampanye Rp 175- 450 juta saja. Padahal, paling tidak dari pemantauan Tempo, seorang calon legislator sudah mengeluarkan uang Rp 600-800 juta. Bukan mustahil pula sebagian pengeluaran "caleg" itu dipakai untuk pengganti ongkos konstituen yang menghadiri acara tatap-muka mereka.
Membuktikan kebenaran pemakaian dana kampanye juga tak gampang. Selain "caleg" tak wajib lapor ke KPU, laporan penggunaan dana kampanye oleh partai kepada akuntan publik dijadwalkan berlangsung sehari setelah pencoblosan. Bahkan hasil audit dana kampanye partai baru akan diketahui tujuh pekan setelah pemilu. Seandainya pun akuntan menemukan permainan uang, semua partai dan sekalian "caleg"-nya tetap saja melenggang ikut pemilu 9 April.
Perubahan aturan mendasar demi transparansi dana kampanye harus dilakukan. Misalnya, penyumbang mesti setor ke kas negara, dan negara yang membiayai kampanye. Tanpa perbaikan fundamental, "cacat" besar demokrasi kita ini tak akan kunjung membaik.
berita terkait di halaman 27
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo