Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Presiden dan Aparat yang Berpihak

7 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI Ketua Umum Partai Demokrat, boleh-boleh saja Susilo Bambang Yudhoyono mengambil posisi tak netral dalam Pemilihan Umum Presiden 2014. Gestur dan caranya berpesan saat menerima Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, Jumat pekan lalu, mengisyaratkan restunya kepada sang kandidat. Disiarkan langsung beberapa stasiun televisi pendukung, diakhiri cipika-cipiki, termasuk dengan tim pemenangan kandidat presiden nomor undian satu ini, siapa pun mafhum Yudhoyono tengah memberi endorsement.

Ia mungkin tak konsisten: sebelumnya, ia menyatakan netralitas Partai Demokrat. Keputusan itu diambil atas kehendak pengurus partai yang ditanyai melalui sebuah jajak pendapat. Belakangan, Ketua Harian Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan mengumumkan keberpihakan partai mereka kepada pasangan Prabowo-Hatta.

Yudhoyono tentu punya alasan mengapa akhirnya berpihak. Keberlangsungan kebijakan, posisi politik dalam pemerintahan yang baru, serta keamanan diri dan keluarga dalam sebuah pemerintahan yang "sahamnya" sedikit-banyak ia miliki adalah sebagian alasan yang bisa kita perkirakan. Tapi sekali lagi, sebagai ketua umum partai, Yudhoyono punya hak penuh untuk membawa partainya ke mana pun ia mau.

Namun Yudhoyono bukan semata ketua partai. Ia juga kepala negara, kepala pemerintahan, dan Panglima Tertinggi Tentara Nasional Indonesia. Dalam pemilihan presiden yang akan berlangsung Rabu pekan ini, negara, yang ia pimpin, wajib bertindak sebagai wasit yang adil. Jika keteladanan ini bisa dicontohkan Yudhoyono, niscaya semua aparat negara akan meniru.

Yang terjadi di lapangan, aparat terang-terangan memihak kandidat nomor urut satu. Di kubu Prabowo, sedikitnya 70 persen kepala daerah telah bergabung. Sangat masuk akal terjadi pengerahan kekuatan pemerintah daerah untuk pemenangan pasangan Prabowo-Hatta.

Di Karanganyar, Jawa Tengah, Bupati Juliyatmono, misalnya, rajin membagikan insentif Rp 1 juta kepada ketua rukun tetangga. Meski tak ada urgensinya—Lebaran pun masih jauh—menurut ­Juliyatmono, program bagi-bagi duit itu dilakukan untuk mempercepat penyerapan anggaran. Aksi sinterklas bupati yang juga Ketua Partai Golkar Karanganyar itu pantas memantik curiga: duit ditebar untuk memenangkan Prabowo-Hatta.

Masih terngiang heboh bintara pembina desa (babinsa) di Jakarta yang mendata penduduk untuk memetakan dukungan kepada Prabowo-Hatta. Setelah masyarakat melapor, para pelaku dihukum. Tapi, setelah kasus itu selesai, muncul kasus lain. Di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, diketahui ada babinsa yang mengarahkan warga setempat agar memilih Prabowo.

Intervensi—apalagi intimidasi—tentara ini jelas mencederai sikap TNI, yang sejak awal reformasi bertekad berdiri di tengah. Sudah selayaknya tindakan tak terpuji itu dihukum setimpal. Bukan hanya TNI dan Kepolisian RI, netralitas penyelenggara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu, juga harus dijaga. Sebagai wasit, mereka mesti steril dari kepentingan kandidat yang bertarung.

Jangan mengacaukan aparat birokrasi sebagai individu dan sebagai penyelenggara negara. Sebagai individu, mereka memang punya hak politik. Tapi, sebagai abdi negara, mereka harus menanggalkan sebagian hak politik itu—misalnya hak ikut berkampanye atau mempromosikan kandidat yang mereka dukung. Pembatasan hak politik itu diatur undang-undang agar tidak terjadi konflik kepentingan. Aparat yang berpihak akan mudah tergoda untuk menyelewengkan anggaran dan fasilitas negara. Karena itu, setiap tindakan pemakaian fasilitas negara untuk kepentingan kelompok harus dinyatakan sebagai korupsi yang mesti ditindak.

Orde Baru pernah menerapkan asas monoloyalitas kepada pegawai negeri. Maksudnya, semua pegawai pemerintah wajib loyal hanya kepada Golkar—partai yang dibentuk pemerintah dalam sebuah sistem multipartai yang sepenuhnya tak demokratis. Saat itu, pegawai negeri adalah aparat Golkar: berpihak pada partai itu, mengenakan seragam partai, dan wajib memenangkan partai dalam setiap pemilu. Tak terhitung berapa banyak uang negara—dikumpulkan dari pajak penduduk—yang dipakai untuk membiayai partai. Mereka yang membangkang akan disingkirkan atau kariernya dihambat.

Rezim berganti dan kini kita seolah-olah kembali dibawa ke arah era yang gelap tersebut. Keberpihakan aparat negara, betapapun terlambatnya, harus segera diakhiri. Reformasi diraih dengan biaya yang tak sedikit. Yudhoyono mesti memberi contoh kepada bawahannya dan menindak mereka yang lancung. Kecuali ia ingin dikenang sebagai kepala negara yang mencederai cita-cita reformasi di akhir masa jabatannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus