Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEBAT calon presiden kedua pada 7 Januari 2023 berlangsung seru. Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo tak mengulang kecanggungan di debat pertama yang tampak menahan diri menyerang Prabowo Subianto. Di debat kedua, dua calon presiden itu seperti saling memberi umpan lambung untuk kemudian menyemes Prabowo dengan telak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Barangkali karena tema debat kedua itu tentang pertahanan dan geopolitik. Sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto tentu punya banyak peluru untuk argumen serta konsep-konsep pertahanan dan politik global jika ia menjadi presiden. Rupanya, itu ekspektasi berlebihan. Alih-alih garang berargumen, Prabowo kikuk dengan tema yang seharusnya ia kuasai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti permainan sepak bola, Anies dan Ganjar segera masuk ke jantung pertahanan Prabowo yang menjadi petahana. Pertanyaan Anies dan Ganjar yang tajam soal alat utama sistem pertahanan, menurunnya indeks pertahanan Indonesia, soal kekayaan Prabowo yang bertolak belakang dengan nasib prajurit, hanya mampu direspons Prabowo dengan gimik yang tak substansial. Malam itu, Prabowo hanya bertahan tanpa mampu menyerang balik.
Survei-survei dan percakapan publik juga memberikan kesan positif kepada Anies dan Ganjar. Drone emprit, aplikasi pemantau percakapan di X pada 7-8 Januari 2023, mencatat 71 persen netizen yang membahas debat memberikan sentimen positif untuk Anies, 69 persen untuk Ganjar, hanya 31 persen untuk Prabowo. Prabowo bahkan mendapat sentimen negatif paling tinggi, 64 persen, disusul Anies 23 persen dan Ganjar 17 persen.
Para pendengung dan pendukung Prabowo lalu mengamplifikasi pertanyaan dan pernyataan Anies maupun Ganjar itu sebagai serangan personal karena mengontraskan aset tanah Prabowo dengan banyak prajurit TNI yang belum punya rumah maupun tantangan beradu data pertahanan yang konfidensial. Salah satu pendengung yang menyoal serangan Anies itu adalah Presiden Joko Widodo.
Ia bahkan meminta Komisi Pemilihan Umum mengubah format debat, yang tersisa satu kali untuk calon presiden dan satu kali lagi untuk calon wakil presiden. Jokowi minta agar debat fokus pada visi dan misi, tak menyerang pribadi personal. Padahal, soal kepemilikan tanah, Anies hanya mengutip pertanyaan serupa yang dilontarkan Jokowi kepada Prabowo saat debat calon presiden di Pemilu 2019.
Lagi pula, tak sepatutnya Jokowi membuat komentar semacam itu. Tak hanya mencampuri urusan Pemilu yang menjadi ranah KPU, Presiden telah bertindak seperti juru kampanye Prabowo Subianto. Kita tahu, pendamping Prabowo adalah anak Jokowi. Komentar Jokowi yang membela Prabowo kian menegaskan ia bukan kepala negara yang netral—yang diatur UU Pemilu dan UU Administrasi Pemerintahan.
Cawe-cawe Jokowi memang sudah diprediksi. Mengizinkan anaknya menjadi wakil Prabowo dengan perubahan syarat Pemilu oleh Mahkamah Konstitusi menjadi indikasi awal Presiden berpihak pada salah satu calon. Menempatkan orang-orang kepercayaan di posisi kunci, mengganti kepala daerah dengan penjabat sementara, adalah cawe-cawe Jokowi berpihak kepada Prabowo secara telanjang.
Permintaan agar KPU mengubah format debat jadi seperti gong yang menegaskan keberpihakan politik Presiden. Jokowi masuk perangkapnya sendiri yang selama ini ia citrakan: presiden yang netral meski anaknya menjadi kandidat wakil presiden. Agaknya, dengan meminta perubahan format debat, Jokowi kepalang basah merusak tatanan Pemilu yang seharusnya jujur, adil, dan transparan. Jokowi tak lagi tanggung merusak Pemilu sebagai satu anasir penting dalam demokrasi.
Lagi pula, pertanyaan Anies dan Ganjar masih relevan dengan tema debat. Dalam debat politik, menyerang pribadi pun tak masalah, apalagi Prabowo sedang menduduki jabatan publik. Prabowo sedang bertarung untuk sebuah jabatan publik. Kekayaan, kebijakan, bahkan pikirannya harus diuji di depan orang banyak dalam debat publik. Dalih waktu yang sempit untuk menjelaskan persoalan pertahanan yang rumit juga menunjukkan Prabowo tak bisa berpikir cepat, taktis, sekaligus strategis.
Maka, pernyataan Jokowi membuat Pemilu 2024 kian cemar karena seorang Presiden tak bisa membedakan kewajiban kepala negara dengan hak personalnya berpihak kepada salah satu kandidat.