Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekalipun demikian, posisi orang nomor satu di lembaga yudikatif itu mulai disorot sejak Presiden Abdurrahman Wahid mengusulkan Benjamin Mangkoedilaga sebagai calon yang dijagokannya, akhir tahun lalu. Pencalonan Ketua MA kian ramai setelah DPR berencana menampilkan beberapa calon, menyusul daftar nama yang dibuat Mahkamah Agung sendiri. UU No. 14/1985 tentang MA memang menyebutkan bahwa DPR-lah yang berwenang mengajukan daftar nama calon Ketua MA kepada kepala negara, setelah mendengar pendapat MA dan pemerintah. Tampaknya, DPR menafsirkan bahwa wewenang mengajukan daftar calon Ketua MA identik dengan mengajukan calon-calon mereka sendiri. Oleh masyarakat, manuver DPR ini dikhawatirkan hanya merefleksikan kepentingan partai politik. Di pihak lain, para hakim agung bersikukuh bahwa Ketua MA harus dipilih dari jajaran hakim agung, yang berarti MA harus dipimpin oleh sesama orang dalam.
Sampai di sini, sangat terasa betapa UU No. 14/1985 tidak memadai untuk dijadikan landasan bagi pemilihan Ketua MA yang transparan dan bebas dari virus kepentingan. Bangsa ini cuma buang-buang waktu dan energi kalau ngotot mengandalkan landasan yang tidak memadai itu. Dihadapkan pada situasi yang sulit seperti ini, DPR sebagai lembaga wakil rakyat diharapkan dapat mengambil inisiatif. Setidaknya, DPR dapat berperan lebih banyak agar pemilihan Ketua MA tidak semata-mata menampung aspirasi kelompok tertentu atau tokoh tertentu, atau difokuskan sekadar memenuhi target tertentu. Walaupun, misalnya, target itu adalah target besar reformasi (basmi KKN, adili Soeharto, tegakkan supremasi hukum), tidak otomatis sang calon bisa dianggap layak.
Tapi, jika ingin lebih realistis dalam pengertian lebih mengutamakan sistem, sebaiknya jangan terpaku pada pribadi calon. Siapa pun Ketua MA kelak, dia akan mendapat dukungan penuh asalkan melalui mekanisme pemilihan yang transparan dan secara luas disosialisasikan. Tahapan-tahapannya juga jelas, apakah lewat satu pintu saja, yakni DPR, ataukah melalui gerbang konsultasi DPR-pemerintah-MA. Sejauh yang menyangkut para calon, masyarakat layak mengetahui biodata dan track record mereka. Lebih ideal kalau disertai daftar kekayaan yang disahkan di depan notaris.
Kesimpulannya, Ketua MA tidak harus seorang hakim agung, tapi juga tidak harus Benjamin. Karena jabatan Ketua MA akan sangat menentukan suksesnya penegakan supremasi hukum, akan bijaksana kalau jabatan itu dipegang oleh yang terbaik dari calon-calon yang juga baik. Kuncinya terletak pada mekanisme pemilihan yang serba transparan dan terbuka untuk dimonitor oleh rakyat banyak. Mekanisme ini juga akan mengurangi tekanan tanggung jawab di pihak DPR dan presiden. Kalau lewat Pemilu 1999 rakyat mendapat pemimpin sekaliber Gus Dur, kini mereka dari jauh juga layak "memilih" seorang Ketua MA yang sama bersih, sama bijak, dan sama cemerlangnya. Mengapa tidak? Bila perlu, sediakan kotak pos khusus agar rakyat bisa memberikan sumbang saran untuk mekanisme yang tembus pandang itu. Jadi, mengapa tidak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo