Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan dunia Islam, dan dosen UIN Sunan Kalijaga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Amerika Serikat Donald Trump akhirnya mengumumkan rencana proposal perdamaian Palestina-Israel, yang selama satu setengah tahun ini masih sayup-sayup terdengar. Beberapa pemimpin Arab pendukung Amerika dan media sempat menyebut rencana itu sebagai "Kesepakatan Abad-21". Sebab, ambisi dari rencana itu konon sangat besar, yakni penyelesaian konflik Palestina-Israel yang mencakup semua isu kunci. Target dari rencana ini adalah terwujudnya perdamaian final dan menyeluruh. Padahal dapat mencapai kemajuan parsial sedikit saja dalam isu ini sudah dianggap prestasi mentereng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amerika, sebagai sponsor perdamaian selama tiga dekade, gagal mendorong terciptanya perdamaian atas konflik yang telah berlangsung sejak abad ke-20 itu. Sudah beberapa kali Presiden Amerika berganti dan hampir semuanya menyodorkan program perdamaian Palestina-Israel. Berbagai formula juga sudah dicoba, dari yang disorot gebyar kamera hingga yang menggunakan jalur rahasia; dari negosiasi langsung hingga negosiasi melalui perantara. Hampir semua usaha sudah dicoba.
Hasilnya adalah kegagalan dan bentangan pesimisme dunia bahwa perdamaian itu dapat diwujudkan. Presiden Amerika sebelumnya biasanya sangat berhati-hati dalam menyentuh isu-isu kunci dalam perdamaian Israel-Palestina. Salah langkah sedikit, rencana yang sudah disusun sangat matang dan panjang bisa buyar seketika.
Trump memang berbeda. Arah dari rencana perdamaiannya memang semakin jelas dan detail. Yang membedakan adalah sikap Trump. Ia bukan hanya tidak berhati-hati dalam menangani persoalan yang sangat sensitif ini, tapi juga terkesan sangat sembrono, angkuh, dan "brutal". Tak ada Presiden Amerika yang mendorong proses perdamaian dengan caranya.
Proposal itu tak layak disebut datang dari negara mediator. Proposal itu lebih layak disebut berasal dari salah satu pihak dalam negosiasi. Jelasnya adalah pihak Israel. Proposal itu menyuarakan hampir semua keinginan Israel mengenai isu-isu kunci. Kendati detail proposal itu belum disampaikan ke publik, gambarannya sudah cukup jelas.
Masalah Yerusalem yang sangat sensitif itu akan diselesaikan dengan cara yang benar-benar brutal. Ia sepertinya tak akan dinegosiasikan. Kota suci dan kota terbesar di Israel itu akan langsung menjadi bagian dari kekuasaan Israel, sebagaimana situasi de facto saat ini, dan akan menjadi ibu kota Israel.
Kebijakan Trump belakangan ini memang mengarah ke sana. Pemerintahan Trump sudah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, lalu memindahkan kantor kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Ia juga mendorong negara-negara lain untuk mengikuti langkah yang kontroversial dan jelas bertentangan dengan resolusi-resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut. Ia tutup telinga terhadap kritik keras dan luas dari masyarakat dunia.
Reaksi Palestina tentu mudah ditebak. Kendati diiming-imingi dengan bantuan ratusan triliun rupiah, para pemimpin Palestina bereaksi sangat keras atas usul ini. Ini semacam penghinaan terhadap mereka, meskipun mereka juga tak punya pilihan yang memadai. Reaksi jalanan akan lebih keras jika sampai pemimpin Palestina maju ke perundingan dengan formula tersebut. Proposal ini sangat berpotensi memicu protes yang cukup luas di kalangan rakyat Palestina, sebagian masyarakat Arab, dan dunia Islam. Proposal ini juga berpotensi memicu kekacauan dan hampir mustahil dapat mewujudkan perdamaian sesungguhnya.
Apalagi, dalam masalah-masalah sensitif lain, proposal Trump juga sangat berpihak kepada Israel. Ia mendukung permukiman Yahudi di Tepi Barat dan menganggapnya sebagai perkembangan alamiah, tidak lagi ilegal. Kebijakan Trump memang mengarah pada pelegalan permukiman Yahudi di wilayah yang disengketakan. Tentu ini juga bertentangan dengan beberapa resolusi PBB yang dikeluarkan setelah perang 1967 dan 1973. Dalam masalah pengungsi, pernyataan Trump juga mengejutkan: tak akan ada hak pulang bagi jutaan pengungsi Palestina.
Isu terakhir ini sebetulnya hampir tak mungkin diselesaikan dalam waktu dekat. Penyebutan masalah ini hanya akan memperburuk situasi dan memperkuat penolakan Palestina. Tapi tujuan diumumkannya proposal ini sepertinya memang bukan untuk mendorong kedua pihak kembali berunding secara sungguh-sungguh, melainkan untuk memprovokasi situasi dan memuaskan kelompok kanan, baik di Israel maupun Amerika. Dilemparnya isu luar negeri ini bisa jadi hanya untuk mengerek popularitas Trump di Negeri Abang Sam dan Netanyahu di Israel, guna menghadapi pemilihan umum di negara masing-masing yang sudah sangat dekat.
Demikian juga dalam masalah perbatasan. Porsi wilayah Palestina semakin kecil. Delapan kota, sebagaimana dalam Perjanjian Oslo II, masih tetap di pihak Palestina, tapi wilayahnya mengecil dan makin terpecah-pecah oleh permukiman Yahudi.
Singkatnya, sulit membayangkan proposal ini akan mewujudkan perdamaian Palestina-Israel. Proposal ini justru berpotensi memancing kerusuhan di akar rumput. Tak ada yang diuntungkan dari proposal ini, kecuali untuk kepentingan politik Trump dan Netanyahu serta kelompok Israel garis kanan.