Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi berhasil menangkap empat buron penting komplotan pelaku peledakan bom di Kedutaan Besar Australia. Penangkapan secara dramatis dan terencana itu berlangsung pada 5 November lalu. Dramatis karena pelaku membawa "tas bom" yang siap diledakkan sebagai bom bunuh diri dan membunuh penangkapnya. Terencana karena segala sesuatu mengenai teknis penangkapan sudah diperhitungkan dengan matang. Bahkan, sampai saat penangkapan, tak seorang pun penduduk setempat yang tahu bahwa itu "buron mahal" yang dihargai Rp 500 juta per kepala.
Dari sudut ini, polisi memang patut dipuji. Khususnya lagi tentu anggota tim antiteror Detasemen 88 yang bekerja keras tak kenal lelah. Pengumuman penangkapan itu, yang baru dilakukan pada 24 November, bukan semata-mata menunggu Presiden Yudhoyono balik dari luar negeri. Namun ada alasan lain, yakni setelah polisi yakin betul yang ditangkap itu orang yang memang dicari. Rupanya, polisi kita pernah kecolongan. Pada 10 Oktober lalu kepolisian Cilegon menangkap "Rois" di Pelabuhan Merak. Setelah diusut seksama, ternyata bukanlah Rois yang dicari-cari. Orang yang ditangkap itu sama persis dengan foto Rois dalam selebaran yang dibuat polisi.
Kini Rois alias Iwan Darmawan asli yang ditangkap. Bersama dia ada tiga temannya yang juga tertangkap, yakni Syaiful Bahri, Hasan alias Purnomo, dan Ansori alias Sogir. Dengan demikian tinggal dua orang yang dicari-cari polisi dan justru keduanya adalah otaknya: Dr. Azahari dan Noordin Mohammad Top. Kedua orang ini dihargai polisi masing-masing Rp 1 miliar jika ada yang memberitahukan di mana ia bersembunyi.
Ada yang dipuji, ada yang perlu dikritik. Jika benar pengakuan Rois dan teman-temannya bahwa Azahari sebenarnya sudah pernah ditangkap polisi lalu lintas namun dilepas dengan sogokan Rp 10 ribu, ini sesuatu yang patut disayangkan. Bahwa polisi lalu lintas di jalanan masih suka menerima sogokan ataupun "titipan biaya tilang" yang tak pernah dibayarkan ke kas negara adalah suatu kenyataan. Kapolri tak boleh menutup-nutupi hal ini, dan "aib" ini sesungguhnya juga tak semata-mata salah sang polisi. Masyarakat yang kurang disiplin juga sering mempengaruhi iman polisi. Yang lebih disayangkan dalam kasus "tertangkap dan terlepasnya" buron Azahari, ternyata tidak semua polisi waspada dan hafal wajah buron itu. Lalu, apa artinya polisi menyebarkan berjuta-juta gambar wajah para teroris bom Kuningan, bahkan sampai menggunakan pesawat helikopter, jika ada anggota polisi sendiri yang tak hafal wajah buron tersebut?
Semoga Kepala Kepolisian RI Da'i Bachtiar bisa menerima kritik ini dan memerintahkan agar semua jajarannya di lapangan lebih waspada. Polisi lalu lintas lebih sering berada di lapangan dan mereka sesungguhnya harus punya gambar wajah para buron di kantong celananya, tak hanya punya surat tilang.
Yang perlu pula dicermati adalah kemungkinan kedua wajah buron itu?Azahari dan Noordin Muhammad Top?berganti wajah. Rois dan teman-temannya yang sudah ditangkap tentu bisa memberikan informasi yang lebih aktual. Jika pergantian wajah itu terjadi, polisi harus merevisi gambar wajah kedua buron ini dalam selebarannya.
Kita berharap, kepolisian mencapai targetnya bisa menangkap kedua gembong peledakan bom itu dalam masa seratus hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Semua pihak wajib mendukung, termasuk Pak Polisi yang nyemprit-nyemprit di jalanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo