Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pungli pemberian untuk pengusaha

Cerita kartini tentang pegawai bawahan yang menjamu atasannya yang berkunjung kedaerahnya sering ada penguasa yang berkunjung meminta disediakan fasilitas & pelayanan baik tanpa memberikan dana.

8 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Tidak, Stella, rakyat tidak lagi dengan sengaja dirampok oleh para penguasa mereka." PADA tanggal 20 Januari 1900, Kartini menuliskan kata-kata itu kepada sahabatnya, Stella Zeenhandelaar. Si gadis Belanda bertanya adakah rakyat kecil masih menyedihkan keadaannya seperti yang dilukiskan Multatuli dalam Max, Havelar. Si gadis Jawa, puteri Regent yang bergelar Raden Adjeng, menjawab dengan penuh harapan, keadaan tak terlalu jelek lagi. Sementara itu di pendopo kabupaten Jepara di pesisir utara Jawa Tengah gametan berbunyi ke udara malam Para niyogo memainkan Ginohjing. Lagu itu telah berlusin kali didengar oleh Kartini, tapi ia tak pernah tak jadi terharu. "Itu adalah suara jiwa manusia yang berbicara padaku," kata Kartini, "kadang mengeluh, kadang melenguh, kadang tertawa gembira. Dan sukmaku pun melayang bersama getaran nada perak murni itu ke atas, ke angkasa, ke pulau-pulau cahaya yang membiru, ke awan, ke bintang-bintang bersinar .... " Kartini, waktu itu umurnya 21 tahun, terdengar seperti seorang penyair. Namun bagian yang menarik dari suratnya 20 Januari 1900 itu adalah mengenai pungli. Memungut suap bagi Kartini sama salah dan sama memalukannya dengan merebut dengan pakisa miik rakyat kecil seperti yang dilukiskan dalam Max Havelaar. "Namun mungkin aku tak akan menghakimi ini dengan keras, bila kuingat keadaannya. Mula-mula orang pribumi mengira bahwa menyajikan pemberian kepada atasan mereka adalah tanda respek -- suatu pernyataan rasa hormat. Menerima hadiah memang dilarang oleh pemerintah bagi Para pegawai, tapi banyak gagal bangsa pribumi begitu kecil gajinya! hingga ajaib juga bagaimana mereka rapat hidup terus dengan penghasilan mereka yang begitu sedikit..... Jangan hakimi mereka dengan keras . . . Jika seorang jurutulis distrik ditawari sesuatu, munykin setandan pisang, ia pertama kali mungkin akan menolaknya, begitu juga untuk kedua kali ia akan menolaknya, tapi pada ketiga kalinya ia akan menerimaitu dengan segan-segan, lalu untuk kali yang keempat ia akan menerimanya tanpa ragu. Apa yang saya lakukan tak merugikan siapa-siapa, begitu fikirnya, saya tak pernah memintanya tapi toh diberikan kepadaku. Bodoh sekali bila saya ragu-ragu selama itu adalah adat. Pemberian hadiah bukan saja merupakan petunjuk menghormati, tapi juga suatu cara berjaga wntuk menghadapi nasib malang yang mungkin tiba, bila "si orang kecil" butuh perlindungan dari seseorang yang berwewenang." Kartini pun bercerita tentang nasib para asisten wedana. Seorang asisten wedana kelas dua bergaji cuma 85 florin. Dari penghasilannya ini si asisten harus membayar gaji seorang sekretaris. Ia harus merawat sebuah kereta kecil dengan kudanya, dan bahkan seekor kuda khusus untuk dikendarainya dalam perjalanan ke pelosok-pelosok. Sang asisten juga harus membeli rumah dan perabot -- dan juga harus menjamu. Para tamunya mungkin controleLlr wedana atau bahkan tuan asisten residen yang lagi tune. Dalam kesempatan seperti itu para tamu yang terhormat biasanya tidur di pesanggrahan, dan tugas sang asisten-lah untuk menghidangkan makanan bagi mereka. "Sering terjadi bahwa para petinggi pribumi itu menggaraikan perhiasan isteri dan anak mereka untuk mendapatkan uang yang diperlukan," tulis Kartini. "Maka bila orang datang kepada mereka dengan pemberian ketika mereka melihat isteri serta anak-anak mereka ke sana ke mari dalam pakaian buruk - jangan hakimi mereka dengan keras, Stella." Kartini sendiri tak pernah menghakimi dengan keras. Ayahnya sendiri, sang Regent Jepara, tak kita ketahui sampai sejauh mana kekayaannya. Barangkali ia tidak sekaya para bupati sekarang. Namun menurut puterinya yang cerdas dan bemandangan luas itu, sang ayah tak pernah memanfaatkan hadiah dari bawahannya dalam perjalanan turne. Ia selalu membawa sendiri perlengkapannya. "Ayah sangat bangga akan asal-usul kebangsawanannya, tapi yang benar adalah benar, dan keadilan adalah keadilan." Adakah di masa itu ia juga suatu perkecualian?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus