Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan hakim Haswandi amat berbahaya bagi penegakan hukum, terutama upaya pemberantasan korupsi. Ia mengabulkan praperadilan Hadi Poernomo dengan alasan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang menangani kasus bekas Direktur Jenderal Pajak ini ilegal lantaran sudah pensiun dari kepolisian. Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu lemah karena KPK berwenang merekrut penyidik sendiri di luar penyidik dari kepolisian dan kejaksaan.
Ratusan kasus lain yang ditangani penyidik yang sama selama ini tidak bermasalah, bahkan sebagian besar sudah divonis di tingkat kasasi atau berkekuatan hukum tetap. Artinya, Mahkamah Agung menerima eksistensi penyidik yang diangkat langsung KPK. Hakim Haswandi semestinya melihat realitas itu ketika memutus gugatan Hadi Poernomo. Bekas Ketua Badan Pemeriksa Keuangan ini menggugat KPK lewat praperadilan setelah KPK menetapkannya sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang dalam kasus pajak BCA ketika ia masih menjadi Direktur Jenderal Pajak. Kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp 2 triliun.
Hakim Haswandi seakan-akan hanya memperhatikan aturan tentang penyidik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sesuai dengan KUHAP, penyidik memang pejabat kepolisian negara. Tapi tidaklah masuk akal bila hakim tidak paham bahwa KPK memiliki wewenang mengangkat penyidik berdasarkan undang-undang yang khusus atau lex specialis. Pengangkatan penyelidik dan penyidik diatur secara gamblang dalam Pasal 43 dan 45 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan dalam Undang-Undang KPK itu juga tidak bertabrakan dengan aturan KUHAP. Soalnya, kitab undang-undang ini juga mengatur pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang menyidik. Itu sebabnya, membatalkan penetapan Hadi Poernomo sebagai tersangka dengan alasan penyidik KPK tidak sah merupakan putusan yang sembrono. Putusan ini akan menjadi preseden buruk lantaran tersangka korupsi lain yang kasusnya sedang ditangani KPK bisa menggugat lewat praperadilan dengan dalih yang sama.
Menghadapi kekalahan kasus Hadi Poernomo, KPK perlu mengkaji sejumlah langkah. Tapi menyerahkan perkara ini ke kepolisian atau kejaksaan bukan pilihan cerdas. Opsi ini sama saja dengan mengakui putusan praperadilan yang keliru. Begitu juga usul agar KPK segera menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru—tentu dengan penyidik yang berbeda atau yang diakui KUHAP. Pilihan ini bisa berkonsekuensi sama: menggerus wewenang KPK, kecuali bila dianggap sebagai langkah sementara.
Dengan kata lain, penerbitan sprindik baru harus tetap diikuti upaya kasasi atau peninjauan kembali kasus Hadi Poernomo. Apa pun langkah yang diambil, komisi antikorupsi perlu mempersiapkannya secara matang dan mengantisipasi konsekuensinya. Dalam kasus praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, misalnya, upaya kasasi tidak membuahkan hasil, sehingga kasus ini harus diserahkan ke lembaga lain.
Perlawanan hukum amat penting demi menjaga eksistensi dan kekuatan KPK, yang selama ini semakin digerogoti secara sistematis. Penetapan tersangka yang semula berada di luar obyek gugatan praperadilan telah dimasukkan menjadi urusan peradilan ini oleh Mahkamah Konstitusi. Tersangka korupsi semakin banyak pula menang di praperadilan: Budi Gunawan, bekas Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, dan belakangan Hadi Poernomo.
Tak selayaknya KPK menyerah. Kecenderungan yang merugikan upaya pemberantasan korupsi itu tak boleh dibiarkan tanpa perlawanan sama sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo