Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Ancaman Bencana di Teluk Jakarta

1 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENCURIAN pasir untuk reklamasi Teluk Jakarta adalah dua kejahatan yang dilakukan dalam satu aksi. Menyedot pasir di kawasan terlarang dapat merusak ekosistem pantai, bahkan menghilangkan pulau, yang pasirnya digangsir, dari permukaan peta. Menumpuk pasir untuk membuat pulau baru—betapapun kegiatan itu didukung pelbagai keputusan pemerintah—adalah aksi lancung yang diyakini para pegiat lingkungan bisa mengancam keselamatan warga Jakarta. Lebih dari 5.000 hektare pulau hasil reklamasi akan menghambat aliran sungai, menimbulkan banjir, dan merusak ekosistem.

Pemerintah harus bertindak cepat. Laporan Bupati Kepulauan Seribu Tri Djoko Sri Margianto ke Markas Besar Kepolisian RI perihal pencurian pasir harus ditindaklanjuti. Dari sini, investigasi lebih luas dapat dilakukan. Pengungkapan perkara pencurian pasir dapat membuka jalan bagi penataan kembali reklamasi Teluk Jakarta—keputusan penting yang seyogianya diambil pemerintah Joko Widodo.

Syahdan, Maret lalu, nelayan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, memergoki kapal Cristobal Colon asal Luksemburg mondar-mandir di dekat pantai mereka. Amblesnya gundukan pasir di pantai memperkuat dugaan bahwa Cristobal ketika dipergoki tengah menyedot pasir. Kapal raksasa itu disewa PT Energy Marine Indonesia, pemasok pasir untuk PT Kapuk Naga Indah. Yang terakhir merupakan perusahaan pemegang hak reklamasi terhadap 5 dari 17 pulau baru di Teluk Jakarta.

Kebutuhan pasir untuk reklamasi Teluk Jakarta memang tidak main-main. Menurut desain awal, diperlukan 330 juta meter kubik pasir untuk menguruk bibir pantai dengan panjang 32 kilometer, lebar 2 kilometer, dan kedalaman 8 meter. Target awal reklamasi, ketika proyek ini pertama kali digagas pada 1995, hanya 2.700 hektare. Saat ini, wilayah itu memuai hampir dua kali lipat. Kawasan seluas Jakarta Pusat itu nantinya dipakai untuk aktivitas bisnis, pariwisata, perumahan, dan proyek properti lain. Jika proyek selesai, pulau-pulau itu akan dipagari tanggul raksasa (giant sea wall) yang digadang-gadang bisa mencegah abrasi.

Persoalannya, dari mana pasir reklamasi didapat? Kementerian Koordinator Perekonomian pernah mengungkapkan laut Jakarta hanya mampu menyediakan sepertiga bahan urukan. Selebihnya entahlah. Kelangkaan bahan urukan sudah lama dicemaskan akan menjadi masalah besar. Itu sebabnya Nabiel Makarim, Menteri Lingkungan Hidup periode 2001-2004, pernah mengeluarkan surat keputusan yang menolak reklamasi Teluk Jakarta. Ia memperkirakan, bila pasir diambil dari pantai utara Jawa, kerusakan bakal membentang dari Pandeglang, Banten, di barat, hingga Losari, Indramayu, di timur, seluas 170 ribu hektare. Di kawasan itu, ekosistem akan hancur, pola arus laut berubah, dan pulau-pulau kecil akan tenggelam.

Tapi keputusan Nabiel itu tak berumur panjang. Sejumlah pengusaha pemegang hak reklamasi menggugatnya ke pengadilan. Mahkamah Agung pada 2011 memutuskan reklamasi Teluk Jakarta boleh dilanjutkan. Sejak itu, proyek reklamasi kembali berderak.

Sebelum bencana besar benar-benar datang, Markas Besar Polri harus mengusut tuntas pencurian pasir di Kepulauan Seribu. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menyebutkan penambangan pasir di pesisir merupakan perbuatan terlarang. Pelanggarnya diancam hukuman sepuluh tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.

Sembari menanti proses hukum, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sebaiknya menghentikan sementara proyek reklamasi oleh PT Kapuk Naga Indah. Pada saat yang sama, Gubernur perlu memeriksa kepatuhan semua perusahaan pemegang izin reklamasi—khususnya peraturan di bidang lingkungan. Perusahaan yang terbukti melanggar harus ditindak tegas: izin operasi dan izin reklamasinya dicabut.

Presiden Jokowi tak boleh ragu menata ulang proyek raksasa itu. Disahkan lewat keputusan presiden di era Soeharto, kebijakan reklamasi Teluk Jakarta bisa direvisi, salah satunya, lewat keputusan presiden juga. Presiden bisa menggunakan sejumlah kajian sebagai dasar keputusan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan, misalnya, pernah membuat studi yang menyimpulkan 17 pulau di Teluk Jakarta bakal menahan laju air dan sedimen 13 sungai Jakarta. Lumpur dan sampah yang dibawa sungai-sungai itu akan terjebak di selat yang memisahkan pulau baru dengan daratan Jakarta. Polutan logam berat dan limbah industri lain yang dibawa aliran sungai akan menjadikan selat itu comberan raksasa.

Langkah cepat perlu diambil. Jakarta harus diselamatkan dari kerusakan lingkungan dan banjir besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus