Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Rabun Simbol

Fariz Alniezar*

16 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bahasa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI jagat Twitter, Goenawan Mohamad mengungkapkan kegusarannya ihwal kondisi bahasa Indonesia di ruang publik. Begini wartawan senior cum sastrawan itu menulis:

...bahasa nasional masih perlu diajarkan dengan tekun ke para pembuat spanduk BUMN. “Naik turun penumpang” itu salah, bung. Yg benar: “Menaikkan dan menurunkan penumpang”. Tidak ada kondektur atau sopir yang “naik turun penumpang”, bukan?

Muasal cuitan ini bersumber dari spanduk yang terpasang di jembatan layang di sebuah ruas jalan tol. Sebuah badan usaha milik negara yang mengurusi infrastruktur menulis kalimat mencolok: “Dilarang Naik Turun Penumpang di Jalan Tol”. Kalimat ini memang cacat logika. Pangkal persoalan terletak pada “naik turun”, yang seharusnya “menaikkan dan menurunkan”.

Tidak cukup sekali cuit, penganggit buku Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai itu membuat utas lanjutan:

Teks di diorama Monas ini tak becus berbahasa nasional. Siapa yang “sudah hidup dalam masyarakat teratur”? Tak ada pokok (subyek) kalimat. Di tempat kita diharapkan bangga jadi orang Indonesia, bahasa nasional diperlakukan seenaknya.

Kalimat lengkap pada diorama yang dipersoalkan Goenawan Mohamad itu:

Pada zaman megalithikum sudah hidup dalam masyarakat teratur, peninggalan budaya tersebar di seluruh Indonesia, antara lain ditemukan di Pasemah, Besuki, Gilimanuk dan Cabenge....

Membaca kalimat tersebut, sulit rasanya kita menghindari rasa pening dan mimisan. Kalimat nirsubyek bukanlah persoalan sepele dalam bahasa. Ia kesalahan elementer dan fundamental.

Problem utamanya adalah respons warganet yang di luar prediksi. Beberapa akun mengomentari cuitan tersebut. Aneh bin ajaib, terdapat akun-akun yang justru memberikan argumen pemakluman atas perilaku dan pilihan berbahasa yang karut-marut dan centang-perenang itu.

Saya mencatat ada tiga komentar ajaib. Komentar pertama permisif dan diutarakan dengan bahasa yang sopan. Begini bunyinya (saya tulis sesuai dengan aslinya):

Mohon maaf Pak Gunawan Mohammad, itu bahasa aplikasi industri gak perlu ribet, orang pasti paham mksudnya. Kritik diperlukan tapi tak akan mengubah keadaan sebab pembuat spanduk juga sadar ketidaktepatan itu demi efisiensi bisnis asalkan tidak melanggar hukum.

Komentar kedua, dengan jenis serupa, berbunyi (saya tulis sesuai dengan aslinya):

Inti berbahasa itu komunikatif, soal teks itu bisa dilihat pd konteksnya. Bila sdh terpenuhi maksudnya, tdk ada yang salah. Apa lg dianggap merusak kaidah berbahasa Nasional. Tolok ukur Nasionalisme itu bukan di situ. Tapi sikap yg jujur. Tak ambil hak orang lain (korupsi)..!

Komentar ketiga tidak hanya permisif, tapi juga bernada pembelaan dan justru menyerang balik pengkritik. Begini bunyi komentar itu (lagi-lagi saya tulis sesuai dengan aslinya):

mikirin bahasa tempatnya ntar gak cukup. bahasa alat bantu. lalu lintas punya bahasa sendiri, kadang bahasanya hanya berupa rambu. jangan lebay.

Menyimak ketiganya, kita langsung bisa menyimpulkan, komentar-komentar tersebut berasal dari mereka yang tidak memiliki atensi yang tinggi sekaligus tidak punya kecakapan berbahasa yang memadai. Kesimpulan itu tidak berlebihan. Sebab, tekstur kalimat dan cara menuliskannya sangat berantakan. Ini menjadi dalil sahih betapa mereka asal berargumen dan abai terhadap medium yang mereka gunakan untuk berargumen, yakni bahasa. Bagaimana mungkin argumen bisa ditangkap dengan baik jika diutarakan dengan bahasa yang belepotan?

Menariknya, salah satu komentar menyatakan lalu lintas memiliki bahasa sendiri, bahkan bahasanya kadang berupa rambu. Barangkali komentar ini merujuk pada buah pikir Cassirer (1962) yang menyatakan bahwa manusia adalah an animal symbolicum. Manusia, bagi Cassirer, adalah hewan yang berbahasa dengan simbol. Pokok persoalannya ada pada pengetahuan terhadap simbol. Maka, jika ada fisik serupa manusia tapi tidak mengerti simbol, ia layak disebut sebagai hewan.

Kini kita dengan mudah menemukan gejala rabun simbol. Dalam konteks lalu lintas, rambu-rambu mulai tak berarti lagi. Bahkan muncul tafsir dan perdebatan tentang makna lampu kuning pada lampu lalu lintas. Sebagian memaknainya sebagai simbol kehati-hatian dan persiapan untuk menghentikan laju kendaraan. Sebagian lain berpendapat justru lampu kuning adalah momen yang tepat untuk menambah laju kendaraan.

Separator jalan bagi bus Transjakarta (biasa disebut separator busway) adalah bukti lain manusia sudah rabun simbol. Jika memang kita masih mengindahkan simbol, semestinya cukup jalur Transjakarta itu diberi tanda berupa garis. Apakah demikian yang terjadi? Tidak. Kian lama pembatas jalan kian tinggi. Bahkan di sebagian tempat, pada jam tertentu, jalur Transjakarta diberi portal, lengkap dengan penjaganya.

Demikianlah, nalar kritis bahasa harus terus digulirkan. Sebab, masyarakat yang beres cara hidupnya bisa dipastikan dimulai dari beres bahasanya.

*) PENGAJAR LINGUISTIK UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA, PENULIS BUKU PROBLEM BAHASA KITA (2017)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus