Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA pemerintah menghapus izin mendirikan bangunan dan analisis mengenai dampak lingkungan sungguh tak masuk akal. Jika dijalankan, rencana itu akan memperparah kerusakan lingkungan serta bisa menurunkan kelayakan dan keamanan bangunan.
Wacana penghapusan IMB dan amdal itu pertama kali dikemukakan Sofyan Djalil. Menteri Agraria dan Tata Ruang ini berdalih proses administrasi dan birokrasi yang berbelit-belit dalam proses perizinan telah menyumbat aliran investasi. Menurut dia, kewajiban menyusun analisis lingkungan bisa dilewati bila rencana usaha terletak di wilayah yang telah memiliki rencana detail tata ruang (RDTR). Syaratnya, rencana itu telah dilengkapi kajian lingkungan hidup strategis.
Masalahnya, dari 2.000 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, hanya 53 daerah yang memiliki rencana detail tata ruang dalam lima tahun terakhir. Kualitas RDTR di sejumlah daerah juga layak dipertanyakan. Contoh paling konkret adalah RDTR Kota Bandung, yang pernah mengubah Kawasan Bandung Utara dari zona hijau atau kawasan lindung menjadi kawasan untuk permukiman.
Kajian lingkungan hidup strategis juga tidak serta-merta bisa menggantikan dokumen amdal. Sebab, suatu proyek membutuhkan evaluasi setelah selesai. Perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan adalah elemen penting dalam penataan tata kota di daerah. Tiga tahap ini setidaknya tecermin dalam IMB dan dokumen analisis lingkungan.
Keberadaan IMB dan amdal tidak boleh dipandang remeh. Kita tidak boleh melihat dua perizinan itu sebatas sebagai prasyarat administrasi dan persoalan prosedural belaka. Lebih jauh dari itu, IMB dan amdal mesti ditempatkan sebagai alat untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengontrol dan mengendalikan lingkungan demi melindungi hajat hidup masyarakat.
Harus diakui, proses perizinan di beberapa daerah masih rumit dan berjenjang. Belum lagi banyaknya aturan turunan yang terkait dengan perizinan. Lamanya proses pengurusan IMB dan amdal memicu investor meninggalkan Indonesia. Tak sedikit pengusaha properti asing batal membangun apartemen setelah mengetahui rumitnya proses perizinan. Sedangkan pengusaha lokal tak sungkan menyelipkan uang setoran agar izin lekas keluar.
Merujuk pada studi Jakarta Property Institute, pelaku usaha setidaknya wajib menaati 39 peraturan untuk membangun sebuah gedung bertingkat di Jakarta. Mereka harus menghadapi satuan kerja perangkat daerah yang beragam, dari Badan Pertanahan Nasional hingga Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan. Tak aneh bila pengurusan izin gedung tinggi di atas 8 lantai dengan luas di atas 5.000 meter persegi setidaknya butuh waktu 21 bulan. Bandingkan dengan Kota Ho Chi Minh di Vietnam, yang mematok proses perizinan maksimal 12 bulan. Proses perizinan pembangunan gedung di Jakarta menelan biaya US$ 7.600, sementara biaya di Ho Chi Minh hanya US$ 696.
Namun rumitnya proses perizinan yang menyumbat investasi tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapus IMB dan penyusunan amdal. Agar tidak membebani dunia usaha, pemerintah justru harus menyederhanakan mekanisme pengajuan IMB dan amdal, tanpa mesti mengorbankan faktor lingkungan. Kualitas amdal yang akurat tetap harus menjadi prioritas utama.
Izin mendirikan bangunan dan analisis mengenai dampak lingkungan adalah dua elemen kunci yang menjadi pegangan dalam proses perencanaan dan pengembangan sebuah kawasan. Kedua perizinan ini merupakan syarat mutlak yang tidak bisa ditiadakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo