Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi mengoreksi Pasal 16 ayat 1 huruf b Undang-Undang Keimigrasian benar-benar mengejutkan. Lembaga ini menetapkan: dalam tahap penyelidikan, kini tak bisa lagi aparat hukum mencekal seseorang. Keputusan ini tentu saja akan berpengaruh pada Komisi Pemberantasan Korupsi, yang selama ini–dengan alasan tertentu—meminta Direktorat Jenderal Imigrasi melarang seseorang bepergian ke luar negeri meski belum berstatus tersangka.
Uji materi Pasal 16 Undang-Undang Keimigrasian itu diminta enam pengacara—beberapa di antaranya bekas penasihat hukum Muhammad Nazaruddin. Mereka memang menjadikan kasus penetapan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat ini sebagai dasar pengajuan judicial review itu. Nazaruddin, yang kini dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam kasus suap proyek Wisma Atlet, pernah dicekal dan dijadikan tersangka ketika mengaku berobat di luar negeri.
Sebelumnya, pasal 16 ini tak melarang adanya pencekalan ketika proses penyelidikan sedang berlangsung. Atas dasar pasal ini, seseorang yang masih berstatus saksi pun di tingkat penyelidikan bisa dicekal jika lembaga penegak hukum memandangnya perlu dilarang bepergian ke luar negeri. Kini pencekalan hanya bisa dilakukan apabila sebuah kasus sudah masuk tahap penyidikan.
Para pengacara itu berpendapat, pelarangan seseorang ke luar negeri ketika belum menjadi tersangka adalah pelanggaran hak asasi manusia dan hak konstitusional. Mahkamah Konstitusi sependapat. Proses penyelidikan merupakan tahapan menentukan ada-tidaknya suatu tindak pidana. Karena itu, penolakan terhadap hak seseorang keluar wilayah tatkala statusnya belum tersangka, kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md., akan mudah dijadikan alasan untuk menghalangi seseorang ke luar negeri.
Mahkamah tampaknya khilaf. Hak kebebasan bergerak sebenarnya bukan merupakan hak mutlak seseorang. Hak ini berbeda dengan hak beragama atau hak hidup yang tak bisa diganggu gugat. Hak kebebasan bergerak "tak sederajat" dengan hak-hak tersebut. Berdasarkan kepentingan negara, dengan alasan keamanan atau ketertiban, atau mempermudah penyelidikan, hak kebebasan bergerak bisa saja dibatasi.
Mahkamah semestinya juga mempertimbangkan kejahatan korupsi yang sudah berurat berakar di negeri ini. Banyak pelaku kejahatan korupsi yang belum berstatus tersangka faktanya pergi ke luar negeri, ketika kasus mereka diselidiki, dengan berbagai dalih, misalnya berobat, lalu "lenyap" begitu ditetapkan menjadi tersangka. Ingat kasus Anggoro Widjojo, tersangka kasus korupsi Rp 13 miliar proyek Sistem Komunikasi Radio di Kementerian Kehutanan. Ia melenggang ke luar negeri ketika kasusnya diselidiki KPK. Ia pun kini lenyap tak tentu rimbanya.
Berbeda dengan kejaksaan, KPK sulit "menyiasati" putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Kejaksaan, seperti dikatakan Wakil Jaksa Agung Darmono, bisa segera meningkatkan sebuah kasus ke penyidikan agar bisa mencekal seseorang kendati orang tersebut belum jadi tersangka. Cara "mudah" ini tak bisa dilakukan KPK, yang juga tak memiliki mekanisme penghentian perkara jika sudah masuk penyidikan. Undang-Undang KPK mengatur, agar perkaranya bisa dinaikkan ke tahap penyidikan, seseorang mesti menjadi tersangka terlebih dahulu, yang dikuatkan dengan dua alat bukti.
Komisi Pemberantasan Korupsi tak boleh turun semangat setelah ada putusan Mahkamah itu. Sebaliknya, putusan ini bisa dijadikan cambuk bagi KPK untuk mengusut perkara korupsi lebih cepat, tangkas, tanpa meninggalkan prinsip kehati-hatian. Ini penting, agar mereka yang terlibat sesegera mungkin dijadikan tersangka lalu dicekal. Abraham Samad dan pimpinan KPK lainnya tak boleh sedikit pun loyo hanya karena putusan Mahkamah Konstitusi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo