Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBERANIAN Komisi Pemberantasan Korupsi menjerat Muhammad Nazaruddin menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang pantas diapresiasi. Selain efektif mengembalikan uang negara yang digarong, peraturan ini mampu menjaring siapa saja—baik individu maupun, inilah hebatnya, korporasi—yang menerima uang dari hasil kejahatan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu.
Peraturan ini bisa pula dipakai mengejar para pencuci uang pasif. Artinya, siapa pun yang turut menikmati harta kekayaan yang patut diduga merupakan hasil pencucian uang niscaya akan bisa diproses secara hukum. Sang pemberi dan penerima, termasuk penadah, bisa dikenai sanksi. Dalam pembelian saham Garuda sekitar Rp 300 miliar lewat pialang Mandiri Sekuritas, pihak Mandiri sebagai makelar saham dan pihak Garuda sebagai penadah bisa saja ikut kecipratan getah, "membantu mencuci".
Pendek kata, semua aktor yang terlibat perkara pencucian uang Nazaruddin akan diusut. Aliran dananya juga ditelusuri sampai jauh dan diupayakan kembali ke kas negara. Di persidangan, para terdakwa dituntut melakukan pembalikan beban pembuktian. Nazaruddin disuruh membuktikan uang Rp 300 miliar lebih yang digunakan untuk membeli saham Garuda berasal dari bisnisnya yang sah, bukan dari menggarong proyek pemerintah. Jika dia gagal membuktikannya, semua aset dan uangnya bisa disita negara.
Penggunaan ketentuan itu sangat urgen di negeri yang pernah dijuluki surga bagi pencoleng dengan modus pencucian uang ini. Uang haram dari berbagai negara menjadi "bersih", entah disimpan dengan membeli saham, entah dimainkan dalam berbagai proyek. Koruptor mencuci uang laknat itu, termasuk menyimpannya di bank luar negeri. Financial Action Task Force on Money Laundering sejak sepuluh tahun lalu menyebutkan negeri ini tidak kooperatif dalam memerangi praktek pencucian uang.
Padahal saat itu sudah ada Undang-Undang Nomor 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Perangkat hukum itu dinilai masih lemah. Batasan jumlah uang yang dicuci belum jelas betul. Perlindungan saksi juga kurang memadai. Meski diamendemen lagi menjadi Undang-Undang Nomor 25/2003, tetap saja ketentuan perundangan ini dianggap tak punya gigi. Bahkan ada keengganan para penyidik menjerat koruptor dengan undang-undang itu.
Kisah suksesnya ada. Eduard Cornelis William Neloe, mantan Direktur Utama Bank Mandiri, semula hanya dikenai undang-undang pemberantasan korupsi. Ia bebas di tingkat pengadilan pertama. Padahal ada bukti dia menimbun uangnya di Swiss. Hakim Mahkamah Agung memvonis Neloe bersalah, tapi tetap dalam kasus "kredit macet". Baru setelah itu, April 2006, penyidik dari kepolisian menembak Neloe berdasarkan undang-undang pencucian uang. Dengan proses super-alot, uang dari Swiss itu akhirnya bisa kembali.
Semenjak itu, tak ada lagi koruptor kakap yang dijerat dengan undang-undang ini. Bahkan, ketika peraturan itu diperbarui lagi dua tahun lalu dengan nama Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, praktis tak satu pun pesakitan dijerat dengan ketentuan ini, termasuk Gayus Tambunan, terpidana kasus korupsi dan mafia pajak.
Akankah kini Nazaruddin, orang perdana yang dijerat dengan undang-undang terbaru ini, bisa dinyatakan bersalah dan uang yang dicucinya kembali ke kas negara? Akan menjadi prestasi besar bagi Abraham Samad dan kawan-kawan jika harapan masyarakat menjadi kenyataan. Apalagi kalau benar Angelina Sondakh, mantan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, serta para tersangka kejahatan serupa juga dijerat dengan peraturan yang sama. Pengakuan Nazar, Angie, atau siapa pun akan menjadi "pintu masuk" bagi koruptor lain untuk dibui dengan undang-undang yang ampuh ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo