Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGHADANGAN yang dilakukan sekelompok masyarakat Dayak terhadap rombongan Front Pembela Islam di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, mengingatkan kita betapa kekerasan selalu meninggalkan jejak panjang. Ketika aksi kekerasan FPI seperti mendapat penenggangan selama ini, ibarat bom waktu, "ledakan" hanya tinggal menunggu. Alih-alih mengecam tindakan tak semenggah itu, suara yang beredar lebih banyak mengimbau front yang dipimpin Rizieq Shihab itu surut sebentar dari hiruk-pikuk—apalagi ancam-mengancam—dan mencoba melakukan introspeksi.
Peristiwa dua pekan lalu itu memang mengandung multimatra. Sedari mula, kelompok masyarakat yang direpesentasikan oleh, antara lain, Dewan Adat Dayak sudah menolak kehadiran FPI di wilayah mereka. Mereka menilai perilaku FPI selama ini tak cocok dengan tamadun keberagaman yang diturunkan oleh kearifan leluhur. Suku Dayak mengenal fikrah huma betang, yang dimaknai sebagai kebersamaan dalam keberagaman. Dalam kebersamaan itu, pemeluk Islam, Nasrani, Hindu, Buddha, dan Kaharingan bisa berdampingan dan menjalankan ritual dalam damai.
Dengan latar belakang itu pun reaksi emosional masyarakat Dayak itu tetap tak bisa dibenarkan. Menerabas batas keamanan di sebuah bandar udara merupakan pelanggaran hukum. Apalagi jika penerabasan itu dilakukan seraya "berhiaskan" senjata tajam, betapapun tradisionalnya. Belum lagi kerugian yang ditanggungkan maskapai penerbangan yang mengangkut para pengurus FPI, serta para penumpang yang rusak jadwal perjalanannya, tanpa kena-mengena dengan urusan pokok.
Menolak kehadiran sebuah organisasi resmi yang dijamin oleh undang-undang di sekujur wilayah Republik ini juga bukan sikap terpuji. Kehadiran Front dijamin oleh hak berserikat, yang berhulu di konstitusi. Tapi itu tadi: FPI–atau serikat apa pun—tentu tak bisa "beraja di hati", melangkah dengan sewenang-wenang, seraya menafikan hak orang lain dengan cara-cara yang tak elok. Menempuh "jalan pedang" untuk urusan yang bisa diselesaikan dengan "jalan interlokusi" tetaplah merupakan langkah tak terpuji, apalagi kalau dirujukkan ke ajaran agama apa pun.
Dalam persepsi publik, front yang didirikan pada 1998 itu ketat terkait dengan tindakan nondialogis. Melalui kelompok paramiliternya yang bernama Laskar Pembela Islam, mereka sering mengambil alih hukum ke tangan sendiri, melakukan sweeping dengan mengerahkan massa untuk menindak apa yang mereka pahami sebagai kegiatan maksiat. Tak jarang penindakan itu menggunakan senjata tajam dan sering kali terjadi penganiayaan.
Karena itu, langkah Gubernur dan Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah dalam kejadian di Bandara Tjilik Riwut tak bisa buru-buru dipersalahkan, apalagi disimpulkan sebagai tindakan "provokatif". Dalam kenyataannya, pada kejadian tersebut tak seorang pun terluka. Berbeda, misalnya, dengan pembubaran paksa yang dilakukan FPI terhadap unjuk rasa damai sekelompok masyarakat di kawasan Silang Monas, Jakarta, pada 2008.
Meski Front Pembela Islam ditolak di sejumlah daerah, membubarkan organisasi ini—atau organisasi apa pun—tentu bukan pilihan ideal. Tapi membiarkan kekerasan berkelanjutan, atas nama agama atau kepercayaan apa pun, juga sangat tidak beralasan. Para penegak hukum harus melepaskan diri dari paradigma kekuasaan era Orde Baru, yang bisa menenggang, bahkan kadang-kadang "memelihara", kelompok kekerasan hanya untuk kepentingan sesaat. Sebagai akibat, kekerasan bisa menempuh jalan panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo