RAPBN 1992-93 menggoreskan nada tersendiri terhadap ekonomi Indonesia tahun ini, yakni menonjolnya peran pajak sebagai instrumen kebijaksanaan. Ini sekaligus mencerminkan tekad untuk membangun atas dasar kekuatan ekonomi masyarakat Indonesia sendiri. Mungkinkah itu? Sebelum menjawab dengan gaya "normatif", yaitu "kita bisa dan kita harus bisa", ada baiknya kita teliti dulu angka-angka secara jernih. Pertama, dalam membandingkan RAPBN 1992-93 dengan APBN 1991-92, janganlah kita terpengaruh dengan perubahan volume anggaran. Sebab, kenaikan volume anggaran dari Rp 50,56 trilyun (APBN 1991-92) ke Rp 56,11 trilyun (RAPBN 1992-93) sebesar 11% dalam kenyataannya bisa berbeda. Alasannya, realisasi APBN 1991-92 berbeda dengan Undang-Undang APBN 1991-92. Ya beda dalam jumlahnya, ya komposisi anggarannya. Misalnya, dalam APBN 1991-92 dicantumkan subsidi BBM sebesar Rp 1,187 trilyun, dan gaji serta pensiun yang direncanakan tidak naik. Hanya beberapa minggu setelah APBN 1991-92 disahkan menjadi undang-undang, diumumkan peningkatan harga BBM dan kenaikan gaji serta pensiun. Ini tentu mengubah komposisi anggaran. Kedua, kenaikan volume anggaran yang 11% itu tidak berbeda jauh dengan inflasi yang dalam tahun 1991 mencapai 9,52%. Selain itu, pengertian anggaran berimbang sendiri, bila dilihat dari teori keuangan negara, punya arti netral pada pertumbuhan ekonomi. Artinya, berapa pun volume anggaran, dampak multiplier adalah satu, atau tidak berpengaruh apa-apa pada pertumbuhan ekonomi. Teori ini berasumsi, karena anggaran berimbang, dampak kontraksi (penciutan) pada anggaran penerimaan Pemerintah akan sama besar dengan dampak ekspansi (perluasan) pada anggaran pengeluaran Pemerintah. Ini terjadi karena penerimaan sama dengan pengeluaran. Namun, pada APBN 1991-92 dan RAPBN 1992-93, serta APBN-APBN sebelumnya, dampak kontraksi pada penerimaan Pemerintah hanya terbatas pada penerimaan di luar migas (terutama pajak). Sementara itu, sebagian besar penerimaan migas dan seluruh bantuan luar negeri (penerimaan pembangunan), tidak mempunyai dampak kontraksi. Sebab, penerimaan-penerimaan tersebut tidak mengurangi konsumsi atau tabungan dalam masyarakat. Karena sifat yang khusus dari APBN kita, teori "Balanced Budget Multiplier adalah satu" tidak berlaku. Juga di sisi pengeluaran Pemerintah, pembayaran utang luar negeri jelas tidak punya dampak ekspansif. Jumlah pembayaran utang itu pada RAPBN 1992-93 amat besar: Rp 15,627 trilyun atau 47% dari total anggaran pengeluaran rutin. Tapi, kenapa RAPBN 1992-93 disebut sebagai anggaran pajak? Pada APBN 1991-92, penerimaan di luar migas -- sebagian besar adalah pajak -- tidak mencapai 50% dari total APBN, sedangkan pada RAPBN 1992-93 lebih dari 58% penerimaan anggaran disandarkan pada penerimaan di luar migas atau pajak. Karena itu, dalam komposisi anggaran penerimaan, bantuan luar negeri turun 7,4%, dan penerimaan migas juga turun 7,1%. Ancang-ancang dari meluasnya pajak bahkan tidak menunggu RAPBN 1992-93. Pemerintah telah memunculkan PP No. 74/1991 yang dikeluarkan pada 31 Desember 1991. Kini pajak atas bunga deposito dikenakan kepada wajib pajak sebagai PPh (pajak penghasilan) sesuai dengan pasal 17 UU No. 7/1983. Dengan begitu, pengenaan flat rate pajak 15% dari bunga deposito dihapus. Hingga, bila sebuah perusahaan penghasilannya di atas 50 juta, bunga deposito yang merupakan bagian dari penghasilannya akan dikenai pajak setinggi 35%. Betapa RAPBN 1992-93 adalah anggaran pajak, terutama tampak pada peningkatan target pajak penghasilan (36,3%) dan pajak pertambahan nilai (34,1%). Persentase peningkatan ini melampaui persentase yang biasanya dianggap "wajar", yaitu tingkat inflasi ditambah tingkat pertumbuhan ekonomi, atau sekitar 16%. Pemerintah tentu punya alasan kuat untuk meningkatkan penerimaan pajak. Alasan obyektif adalah, minyak dan bantuan luar negeri kian sulit menjadi andalan ekonomi kita. Bahkan, net foreign exchange resource outflow -- selisih antara penerimaan utang luar negeri dan pembayaran bunga serta cicilan utang -- telah membengkak dari defisit Rp 3,758 trilyun (APBN 1991-92) menjadi Rp 6,027 trilyun. Karena itu, kembali yang tersisa bagi Pemerintah adalah penggenjotan pajak yang tidak kepalang tanggung. Pada tahun fiskal 1989-90, penerimaan pajak terhadap PDB di luar migas adalah 10,8%, sedangkan pada RAPBN 1992-93 jumlahnya ditargetkan 15,2%. Peningkatan rasio yang demikian besar membutuhkan administrasi pajak yang andal dalam jumlah besar. Karena itu, Pemerintah akan menyewa akuntan-akuntan publik dari swasta untuk mencapai target itu. Karena Pemerintah bersedia mengeluarkan uang (mungkin dalam jumlah ratusan milyar) untuk menyewa akuntan dari swasta, jelas taxenforcement akan berlangsung tidak tanggung-tanggung. PPN yang kini juga menyangkut pajak pada tingkat perdagangan eceran jelas akan makin mengurangi daya beli masyarakat konsumen. Pajak atas barang mewah yang telah ditingkatkan Desember lalu telah dan akan terus memukul industri durable goods seperti otomotif. Maka, dapat disimpulkan bahwa kendati volume RAPBN 1992-93 meningkat, dampak pada perekonomian adalah kontraktif, atau menciutkan kegiatan konsumsi dan tabungan. Dari sudut ini, pertanyaan di awal tulisan, "bisakah kita menggenjot pajak"?, harus dijawab dengan, "bisa, tetapi dibutuhkan transformasi kebijaksanaan ekonomi yang menyeluruh". Hanya dengan pembebasan pasar dari berbagai distorsi, kalangan usaha bisa menerima peningkatan pembayaran pajak. Di pihak lain, instrumen anggaran untuk tujuan distribusi atau redistribusi pendapatan tidak terlalu tepat bila mengandalkan pada pajak. Untuk redistribusi pendapatan, peran pengeluaran pembangunan jauh lebih menonjol. Adanya kesan bahasa proyek -- bantuan proyek dan proyek dengan pembiayaan rupiah, yaitu tabungan Pemerintah ditambah bantuan program -- cuma menguntungkan "segelintir" orang, hendaknya dihapus. Satu cara adalah menghapus ketentuan yang membolehkan perundingan langsung dengan pihak swasta negara donor. Seyogianya, setiap proyek dari negara donor diputuskan melalui tender, dan bisa dipantau masyarakat luas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini