Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kredo pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah meneguhkan kembali kehadiran negara dalam setiap dimensi kehidupan masyarakat. Hal itu termaktub dalam poin pertama Nawacita. Dalam konteks praksis, Nawacita adalah "GBHN" rezim Presiden Jokowi. Bagaimana membumikan kredo tersebut dalam ranah perlindungan konsumen? Ternyata pemerintahan Jokowi masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama 2018, fenomena digital ekonomi menguat, seperti di sektor perbelanjaan, transportasi, finansial, dan perhotelan. Ironisnya, kehadiran negara sangat minim dalam perlindungan konsumen. Terbukti, sampai detik ini, pemerintah masih bergeming ihwal regulasi, khususnya untuk melindungi aktivitas transaksi belanja online, e-commerce.
Hingga kini rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang transaksi belanja elektronik masih mangkrak di laci meja Sekretariat Negara. Padahal peraturan inilah yang akan menjadi "payung" untuk melindungi konsumen saat melakukan transaksi belanja online. Pantas saja, berdasarkan data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, pengaduan konsumen dalam transaksi belanja online selama empat tahun terakhir membubung tinggi.
Hal yang sama terjadi pada perlindungan konsumen dalam teknologi finansial. Dalam hal pelanggaran masif yang dilakukan pelaku lewat produk pinjaman online, peran negara nyaris tak terdengar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator hanya rajin memberi izin operasional bagi pelaku usaha, tapi memble dalam pengawasan. Apalagi terhadap pelaku usaha pinjaman online ilegal, yang jumlahnya lebih dari 300, yang bebas melenggang.
Negara juga gagap saat berhadapan dengan transportasi online. Peraturan Menteri Perhubungan, yang berfungsi mengatur taksi online, tiga kali dirontokkan oleh operator transportasi online. Mereka melawan alias tidak mau diatur. Padahal, di negara lain, taksi online diatur dengan sangat ketat. Ini semua terjadi karena negara terlambat meregulasi mereka. Ironisnya, sikap antar-kementerian tidak kompak. Hanya Kementerian Perhubungan yang jungkir balik berhadapan dengan kaum kapital besar itu. Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Tenaga Kerja terlihat rileks-rileks saja. Ada apa?
Di ranah pelayanan publik yang lebih mendasar, kehadiran negara masih terlihat setengah hati. Contohnya, buruknya pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Keluhan konsumen sangat masif, bahkan keluhan pihak rumah sakit dan fasilitas kesehatan sebagai mitra BPJS Kesehatan seolah-olah menjadi denging nyamuk saja. Persoalan hulu BPJS Kesehatan, seperti masih rendahnya tarif atau iuran dibanding biaya pokok, plus buruknya perilaku hidup sehat masyarakat, terutama perilaku merokok, menjadi pemicu utama. Keuangan BPJS Kesehatan yang berdarah-darah ini menjadi ancaman terhadap gagalnya program Jaminan Kesehatan Nasional. Sampai detik ini, belum ada upaya serius pemerintah untuk menyelamatkannya, kecuali hanya suntikan "vitamin kecil" berupa pajak rokok sebesar Rp 1,4 triliun. Mana cukup?
Rapor merah dalam hal kebijakan kesehatan publik ini akibat kebijakan Presiden Jokowi yang tidak menaikkan cukai rokok pada 2018. Ini jelas kebijakan politis, demi populisme menjelang pemilihan presiden. Sebab, buntut tidak naiknya cukai rokok amatlah luas, tidak hanya dari sisi kesehatan, tapi juga ekonomi dan sosial. Tidak naiknya cukai rokok akan makin menggerus kinerja BPJS Kesehatan, karena data menunjukkan bahwa konsumsi rokok berkontribusi signifikan terhadap dominannya penyakit tidak menular (penyakit katastropik), yang kini menjadi benalu finansial BPJS Kesehatan.
Pada akhirnya, spirit meneguhkan kembali kehadiran negara (untuk melindungi konsumen), sebagaimana diusung oleh Nawacita, terbukti kurang terejawantahkan selama 2018. Nihilnya regulasi dan kebijakan menjadi bukti faktual yang tak terbantahkan. Negara juga masih setengah hati mewujudkan pelayanan kesehatan, yang notabene menjadi hak asasi warga negara. Kita berharap konsistensi meneguhkan kehadiran negara, sebagaimana spirit Nawacita, bisa ditunaikan, bukan hanya janji kosong.