Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Blunder besar jika pemerintah Presiden Joko Widodo melanjutkan warisan Orde Baru, yakni menggunakan kekuasaan untuk menyita buku-buku "kiri". Selain menunjukkan semangat anti-intelektual, tindakan itu merupakan pengingkaran terhadap sejarah bangsa sendiri. Jokowi harus menghentikan rencana Kejaksaan Agung yang telah melucuti semangat berdemokrasi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan razia besar-besaran terhadap buku yang disebut berkonten komunisme dan ideologi terlarang lainnya itu disampaikan oleh Jaksa Agung Prasetyo pada pekan lalu. Razia sebenarnya bahkan sudah berlangsung beberapa kali dalam tiga bulan terakhir, yang juga melibatkan aparat Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Padang, Sumatera Barat, misalnya, aparat antara lain mengambil paksa buku Mengincar Bung Besar: Tujuh Upaya Pembunuhan Presiden Sukarno. Alasan yang disampaikan: buku itu mengajarkan komunisme. Padahal buku itu murni memuat hasil penelitian sejarah yang bertutur tentang sejumlah aksi makar terhadap Sukarno yang telah menewaskan 10 orang. Peluncuran buku tersebut bahkan dihadiri Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, patron politik sang presiden.
Ketidaktahuan itu diperparah oleh "gelap mata" lainnya: pengabaian hukum. Mahkamah Konstitusi pada 2010 jelas-jelas sudah memutuskan mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 yang membolehkan Kejaksaan melarang buku tanpa proses pengadilan. Mahkamah menyatakan penyitaan buku tanpa melalui proses pengadilan sama saja dengan pengambilalihan hak pribadi secara sewenang-wenang, yang dilarang oleh Pasal 28H ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945.
Penyitaan di Padang, juga di Kediri, Jawa Timur, tidak melalui proses pengadilan. Rencana razia besar-besaran yang dilontarkan Jaksa Agung di DPR juga nir-keputusan pengadilan. Rencana itu tak bisa dibenarkan hanya karena jaksa berlindung di balik Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan dan Pasal 69 ayat 3 Undang-Undang Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan.
Dua undang-undang itu disebut Kejaksaan memberi mereka hak untuk mengawasi substansi buku. Tapi dua pasal itu tak secara jelas mendefinisikan pengawasan yang dimaksudkan. Peraturan pemerintah, yang seharusnya mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan seperti diamanatkan Undang-Undang Sistem Perbukuan itu, sampai hari ini malah belum dikeluarkan.
Pasal 69 ayat 4 aturan ini sebenarnya sudah menyebutkan bahwa pengawasan harus transparan dan tetap menjaga kebebasan berekspresi. Siapa pun tahu bahwa razia ataupun penyitaan telah mengganggu, bahkan memporak-porandakan, kebebasan berekspresi. Karena itu, uji materi atas dua perundang-undangan yang bertentangan dengan putusan MK itu mesti segera diajukan.
Patut diduga, rencana razia buku-buku "kiri" itu terkait dengan politik elektoral. Para pendukung Jokowi meyakini sekitar 6 persen pemilih percaya pada rumor bahwa presiden inkumben itu berasal dari keluarga Partai Komunis Indonesia. Bisa jadi, langkah Kejaksaan punya kaitan dengan hasil jajak pendapat itu.
Jika benar razia tersebut dipakai untuk meraup suara kalangan muslim dalam pemilihan presiden, tindakan ini sungguh naif. Manuver itu mengorbankan praktik-praktik berdemokrasi yang benar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo