Saya lega karena Departemen Penerangan menghentikan siaran percobaan RCTI ke seluruh Indonesia (TEMPO, 11 Mei 1991, Media). Ini penting, karena RCTI adalah TV dengan "sajian berat" (90%), yang jika disiarkan secara nasional kemungkinan besar ada implikasi yang kurang menguntungkan. Ingat kasus SCTV dengan tayangan masakan babinya. Seharusnya, RCTI menyadari bahwa siaran-siaran yang ia tayangkan itu didominasi oleh film-film Barat dengan segala cita dan "citranya". Rasanya hal itu tidak menutup kemungkinan terjadinya benturan dengan nilai-nilai agama dan budaya kita, karena TV adalah media yang berpengaruh, baik disadari maupun tidak. Juga, RCTI tak boleh lupa bahwa sejak semula ia adalah televisi swasta yang boleh exist dengan siaran terbatas (dekoder). Lalu, jika sekarang bebas dekoder, janganlah diartikan bahwa RCTI telah bebas berbuat apa pun. Jadi, pada saat ini RCTI sebaiknya bersyukur dan jangan menuntut yang lebih besar lagi, setidaknya pada masa sekarang ini. Iri pada TV asing jelas bukan pada tempatnya, dan tidak relevan. Karena persoalannya tidak terletak pada TV asing boleh, RCTI tidak. Tapi terletak pada tanggung jawab moral itu. Saya berharap, pemerintah (Deppen) terus melarang siaran secara nasional untuk RCTI. Masyarakat kita masih perlu dilindungi dari pengaruh budaya asing yang kurang positif, yang saat ini datang ke tengah-tengah kita dari berbagai saluran dengan arus yang cukup deras. MUTASIM BILLAH Fakultas Hukum Sore Universitas Muhammadiyah Ciputat -- - Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini