Undang-Undang Administrasi Negara (Tata Usaha Negara), yang lahir pada 1986 itu, penerapannya diatur dengan peraturan pemerintah selambat-lambatnya lima tahun terhitung sejak undang-undang itu diundangkannya. Bagaikan macan ompong yang tidak mempunyai gigi, undang-undang itu kalah berhadapan dengan "baju kekuasaan" pejabat Tata Usaha Negara. Buktinya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah memerintahkan "status quo" tidak digubris (TEMPO, 27 April 1991, Hukum). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan UU No. 5 tahun 1956 tentang PTUN, sebagaimana ditentukan pasal 67 ayat 2. Dalam pasal itu disebutkan bahwa penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam hal ini, PTUN telah memerintahkan penangguhan pembongkaran sampai perkara itu berkekuatan tetap. Tapi kenyataannya, putusan sela pengadilan dikalahkan oleh baju kekuasaan. Untuk menjunjung wibawa pengadilan, Pejabat TUN yang melanggar itu harus dilaporkan kepada pejabat PTUN yang lebih tinggi. Dan seharusnya pula, terhadap Pejabat TUN yang sengaja tidak menaati perintah pengadilan (sesuai dengan ketentuan UU No. 5 tahun 1986) dikenakan tindakan administrasi oleh Pejabat TUN yang lebih tinggi. Di samping itu, sesuai dengan Penjelasan Umum UU No. 5 Tahun 1986, pemerintah wajib terus-menerus membina, menyempurnakan, dan menertibkan aparat di bidang TUN agar mampu menjadi alat yang efisien, efektif, bersih, dan berwibawa dalam melaksanakan tugasnya. Juga selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian untuk masyarakat. HADI DARMONO, S.H. Jalan Jenderal Sudirman 899 Purwokerto -- Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini