Sikap Dirjen Imigrasi Roni Sikap Sinuraya dalam kasus Margaritha Aditya, anak luar kawin dua bangsa, Betty dan Di Pinto, sangat ambivalen. Kalau Ditjen Imigrasi mengakui Margaritha (Tata) sebagai warga negara Indonesia berdasarkan Pasal 43 UU No. 1/1974 (tentang perkawinan), mengapa di lain pihak imigrasi mengeluarkan KIMS (Kartu Izin Menetap Sementara) untuk Tata? Di lain pihak, Dubes Italia Michele Martinez dengan sikap nasionalismenya yang tinggi menyatakan secara jantan bahwa Tata tetap warga negara Italia dan status itu tak berubah sekalipun Betty dan Di Pinto tidak kawin secara resmi (TEMPO, 4 April 1992, Hukum). Meskipun Italia menganut asas hukum iius solir dalam menentukan kewarganegaraan, berdasarkan prinsip Hukum Perdata Internasional, Italia tidak dapat memaksakan status kewarganegaraan Tata, yang menurut Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan Indonesia hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya yang WNI. Dengan kata lain, Tata memegang hak vrijwillige onderwerping jika Italia tetap mengklaim Tata sebagai warga negaranya. Sekarang yang menjadi persoalan hukumnya adalah, apakah Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan Indonesia diciptakan untuk melindungi hak hukum dari Betty? Dalam perjalanan sejarah Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, pengaturan persoalan anak di luar nikah -- perlindungan hukum dan kesejahteraan sosialnya -- belum tuntas. Patut diacungkan jempol buat sikap Di Pinto, warga Italia itu, yang mau memperjuangkan Tata untuk diasuhnya. Tersirat makna di sini, Di Pinto mengakui Tata sebagai anaknya (tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Betty yang juga bersungguh-sungguh mau merawat Tata). Benarlah pendapat Saudara Tommy Djaya, S.H. bahwa Tata anak dua bangsa (TEMPO, 4 April 1992, Kontak Pembaca) FERDINAND MONTORORING, S.H. Jalan Langit-Langit Nomor 9 Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini