Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMANGAT pemerintah Joko Widodo meredistribusikan lahan sebaiknya dilakukan dengan perhitungan matang. Tanpa telaah dan kalkulasi cermat, kebijakan pemerataan ekonomi ini bisa tergelincir menciptakan kesenjangan baru. Ini tentu bertolak belakang dengan tujuan semula Reforma Agraria.
Resmi diluncurkan pada Jumat dua pekan lalu, pelaksanaan program ini tidak mudah. Apalagi, dalam dua tahun ke depan, pemerintah ingin memberikan sertifikat tanah dan meredistribusikan lahan seluas 4,5 juta hektare. Tantangan terbesarnya adalah memastikan ketersediaan tanah telantar dan pelepasan kawasan hutan yang akan didistribusikan. Berikutnya, bagaimana mengidentifikasi penerima manfaat kebijakan ini.
Pemerintah telah menetapkan penerima manfaat Reforma Agraria. Target utamanya adalah petani, petambak, pekebun, dan buruh ternak tanpa lahan. Persoalannya, distribusi aset ini tidak bisa direalisasi bila tak ada keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan.
Data di lapangan menunjukkan adanya jurang yang lebar antara ketersediaan dan kebutuhan lahan. Potensi terbesar ketersediaan lahan terserak di tujuh provinsi di luar Jawa, dengan luas masing-masing di atas 0,5 juta hektare. Lahan tersebut terhampar antara lain di Kalimantan Tengah, Papua, Riau, Sumatera Selatan, dan Papua Barat.
Masalahnya, pemerintah tidak bisa serta-merta "membagi-bagi" lahan tersebut karena kebutuhan dan jumlah penduduk miskin di sana relatif sedikit. Bila dipaksakan, distribusi aset kepada sekelompok kecil penduduk malah memicu ketimpangan baru.
Kondisi sebaliknya terjadi di Jawa, yang potensi luas ketersediaan lahannya hanya 0,3 juta hektare. Padahal tingkat kemiskinan dan penganggurannya lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain. Upaya pemerintah mendorong mereka bertransmigrasi ke wilayah yang lahannya melimpah juga bukan solusi mudah.
Sukses-tidaknya pemerintah meredistribusikan aset juga bergantung pada dua hal. Pertama, kementerian dan lembaga pemerintah harus bisa mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tanah telantar. Selama ini, mereka belum satu suara dalam menetapkan status itu. Padahal program ini membutuhkan komitmen pemerintah mengambil alih tanah telantar, yang ditargetkan memakan porsi 0,4 juta hektare.
Kedua, pemerintah harus bisa menagih dan memverifikasi 20 persen pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan. Sesuai dengan Undang-Undang Perkebunan, perusahaan yang memperoleh konsensi wajib menyisihkan 20 persen lahan untuk masyarakat, yang letaknya bersebelahan dengan milik perusahaan. Selama ini, kontribusi 20 persen lahan dari perusahaan tidak pernah dicek ulang. Padahal luas pelepasan kawasan hutan yang hendak diredistribusikan mencapai 4,1 juta hektare.
Reforma Agraria sesungguhnya bukan ide baru. Pada pemerintahan sebelumnya, program seluas 9 juta hektare ini malah menjadi ajang bagi-bagi hak konversi lahan kepada segelintir pengusaha. Pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi kebun sawit dan hutan tanaman industri ini menambah kesenjangan. Tak aneh bila indeks Gini penguasaan lahan melonjak menjadi 0,64 persen pada 2013. Kesalahan itu tidak boleh diulang.
Pemerintah mesti realistis bahwa program ini tidak bisa berdiri sendiri. Apalagi bila tujuan akhirnya mengatasi ketimpangan. Maka pemerintah harus memikirkan skema pendampingan agar masyarakat yang menerima manfaat bisa diberdayakan. Sebab, mengolah hutan dan tanah telantar butuh modal dan keterampilan. Tanpa itu semua, Reforma Agraria hanya akan menjadi slogan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo