Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALING ancam antara Amerika Serikat dan Korea Utara mulai mengkhawatirkan. Kedua negara tak lagi sekadar bersilat lidah, tapi telah melangkah jauh dengan menempatkan berbagai senjata pembunuh massal di Semenanjung Korea. Harus ada upaya untuk menghentikan unjuk kekuatan yang amat berbahaya itu.
Amerika terus meningkatkan tekanan. Setelah armada tempurnya bersama kapal induk USS Carl Vinson berpatroli di perairan dekat Semenanjung Korea, pekan lalu kapal selam USS Michigan berlabuh di Busan, Korea Selatan, membawa 154 rudal jelajah Tomahawk. Korea Utara, di pihak lain, kembali melakukan uji coba peluncuran rudal antarbenua-meski gagal. Mereka juga mengancam akan menyiagakan hulu nuklirnya untuk "percobaan" setiap saat. Kalau ada yang lepas kendali atau salah langkah, perang bisa meledak sewaktu-waktu.
Jangan bermain-main dengan nuklir. Dalam perang yang menggunakan senjata pembunuh massal, tak akan ada yang keluar sebagai pemenang. Kita ingat Little Boy dan Fat Man yang dijatuhkan Amerika di Nagasaki dan Hiroshima, Jepang, pada pengujung Perang Dunia II. Selain membunuh ratusan ribu orang, kedua bom nuklir tersebut meninggalkan trauma amat panjang bagi masyarakat dunia. Upaya damai karena itu mesti segera dilakukan.
Tentu saja pertama-tama ini merupakan tanggung jawab Perserikatan Bangsa-Bangsa. PBB mesti bisa memaksa pihak yang bersitegang untuk bicara. Upayakan penyelesaian melalui dialog. Dewan Keamanan sebaiknya tidak terburu-buru menjatuhkan sanksi baru kepada Korea Utara. Dalam situasi penuh amarah, jangan sampai langkah tersebut malah mendorong Korea Utara bertindak nekat.
Negara-negara tetangga dan sahabat, terutama yang memiliki hubungan baik dengan keduanya, seyogianya juga membantu menurunkan ketegangan. Sikap Cina patut dicontoh. Meski merupakan kawan Korea Utara, Tiongkok dengan tegas meminta Pyongyang menghentikan uji coba rudal yang menjadi pemantik kericuhan dan mendorong diadakannya pembicaraan damai. Seruan damai juga disampaikan Presiden Xi Jinping ketika bertemu dengan Donald Trump beberapa waktu lalu. Dia meminta Amerika menahan diri untuk tidak menambah ketegangan di Semenanjung Korea.
Indonesia, yang berhubungan baik dengan kedua negara, bisa turut aktif mengupayakan penyelesaian tanpa perang. Pemerintah juga dapat menugasi sejumlah tokoh yang memiliki relasi pribadi dengan Donald Trump dan Kim Jong-un untuk menjadi perantara dialog. Megawati Soekarnoputri, misalnya, memiliki hubungan cukup dekat dengan Korea Utara. Dia bersahabat dengan Kim Jong-il, mantan pemimpin Korea Utara, dan kini dengan Kim Jong-un, yang menggantikan ayahnya. Ketika masih menjadi presiden, Megawati pernah menjadi penengah bagi kedua Korea. Dia mengunjungi Kim Jong-il khusus untuk menyampaikan pesan Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung, yang menginginkan "ngobrol persahabatan" dengan pemerintah Korea Utara. Megawati bisa diminta melakukan hal itu lagi.
Nuklir tak hanya mengancam negara-negara yang berperang, tapi juga seluruh dunia, langsung ataupun tidak. Karena itu, PBB dan semua negara mesti segera menghentikan "chicken game" yang tengah dimainkan Donald Trump dan Kim Jong-un. Jangan sampai mereka telanjur melangkah jauh, lalu tak bisa mundur lagi lantaran malu dicap pengecut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo