Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tak Kompak Kalah Banyak

Hampir separuh calon kepala daerah PDI Perjuangan keok di wilayah basis pemilihnya. Termakan hantu komunisme.

1 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPEKAN setelah pemilihan Gubernur Jakarta, elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berkumpul di markas mereka di Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta Pusat. Mereka melakukan rapat secara maraton pada Kamis pekan lalu, sejak pukul 13.00 hingga ditutup sebelum isya pada pukul 19.00.

Ketua Umum Megawati Soekarnoputri keluar dari gedung tanpa memberikan keterangan kepada wartawan. Puan Maharani, anaknya, yang menjabat Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, mengikutinya masuk ke mobil yang sama. "Hanya rapat partai," kata Djarot Saiful Hidayat, Wakil Gubernur Jakarta, yang menjabat ketua bidang organisasi.

Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto menjelaskan lebih detail. Menurut dia, rapat hari itu membahas dan mengevaluasi pemilihan kepala daerah serentak pada Oktober 2016 dan 19 April 2017. Rapat juga membahas persiapan menghadapi pemilihan kepala daerah serentak tahun depan. "Ada sejumlah kerja partai yang harus dibahas," ujarnya.

Pemilihan kepala daerah serentak yang kedua tahun lalu dan tahun ini-pemilihan serentak pertama pada 2015-tak menggembirakan bagi PDI Perjuangan. Dari 101 pemilihan, lebih dari 40 calon gubernur atau wali kota dan bupati yang mereka usung keok. Di level gubernur, dari tujuh calon, empat di antaranya kalah.

Lebih ironis lagi, tiga dari empat calon gubernur yang kalah itu adalah calon inkumben, yakni Rustam Effendi di Bangka Belitung, Rano Karno di Banten, dan Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta. Satu calon, Hana Hasanah Fadel, keok di Gorontalo meski sudah terkenal karena istri Fadel Muhammad, gubernur sebelumnya.

Di Jawa Tengah juga keok. Padahal provinsi itu disebut sebagai basis pendukung PDI Perjuangan dan pemilih terbesar partai ini. Dari tujuh pemilihan kepala daerah tingkat II, empat calon PDIP kalah, yaitu di Kota Salatiga, Kabupaten Batang, Kabupaten Cilacap, dan Kabupaten Banjarnegara. Juga di Kota Yogyakarta.

Hasto mengakui banyak kader partainya terpuruk pada pemilihan kali ini. Namun dia melihat dari sisi lain. Menurut Hasto, calon PDI Perjuangan tetap memenangi separuh lebih daerah pemilihan. "Tapi kekalahan tetap jadi pelajaran, terutama soal strategi dan mesin partai," ujarnya.

Ia mencontohkan kekalahan Rano Karno di Banten. Dari evaluasi dalam rapat partai, kata dia, Rano keok karena diisukan membawa paham komunisme. Rano dikaitkan dengan afiliasi ayahnya, sutradara Soekarno M. Noer, yang santer disebut sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat, kelompok seniman yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.

Upaya klarifikasi Rano dengan mendatangi Ma’ruf Amin dari Nahdlatul Ulama tak berpengaruh signifikan, meskipun Ma’ruf mengatakan di media bahwa ayah Rano adalah anggota Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), yang berafiliasi dengan NU, pada 1960-an. "Serangan isu komunisme amat masif," ujar Hasto.

Isu komunisme disinggung rivalnya, Wahidin Halim, ketika berpidato di Lapangan Sunburst, Bumi Serpong Damai, pada Januari lalu. Sejak itu, Rano selalu diidentikkan dengan komunisme-hal yang sama dilekatkan pada Joko Widodo saat berkampanye dalam pemilihan presiden 2014. Jokowi juga diusung PDI Perjuangan.

Faktor lain yang membuat Rano kalah, kata Hasto, adalah kuatnya pengaruh keluarga Atut Chosiyah-Gubernur Banten sebelumnya-ibu Andika Hazrumy, yang menjadi wakil Wahidin. Menurut Hasto, partainya sempat melirik Andika karena kekuatan pengaruh ibunya itu di Banten. "Tapi kami ingin mencalonkan orang yang keluarganya tak bermasalah," ujar Hasto.

Atut diberhentikan dari kursi Gubernur Banten karena didakwa menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Adiknya, Tubagus Chaeri Wardana, menyusul masuk penjara karena dakwaan korupsi pelbagai proyek di Banten selama kakaknya berkuasa. Chaeri Wardana juga tak lain dari suami Airin Rachmi Diany, Wali Kota Tangerang Selatan.

PDI Perjuangan mencatat, kader-kadernya di daerah kedodoran dalam strategi dan kurang kompak menghadang serangan serta kurang cekatan mengkampanyekan calon partainya. Seorang politikus partai ini menunjuk Ketua PDIP Kota Tangerang yang tak pernah muncul di pos komando pemenangan Rano Karno di Modern Land.

Di kota itu, Rano kalah telak. Sebanyak 67 persen suara di kota itu milik Wahidin, Wali Kota Tangerang dua periode. Evaluasi PDIP menyebutkan kader di kota ini kurang agresif menangkal kampanye hitam yang menyebut Rano penganut paham komunisme. Ujungnya, Ketua PDIP kota ini dicopot.

Lagi-lagi Hasto melihat dari sisi sebaliknya. Meski Rano kalah, perolehan suaranya sesungguhnya menang secara jumlah wilayah. Suara Rano terpencar di desa-desa. "Secara teritori, kami unggul," ujar Hasto. Masalahnya, jumlah pemilih terbesar ada di dua kota: Tangerang dan Tangerang Selatan, dua kota yang dimenangi Wahidin-Andika.

Berdasarkan exit poll Indikator Politik Indonesia, jumlah pemilih PDI Perjuangan yang memilih Rano mencapai 88 persen. Jika dilihat dari angka ini, menurut Hasto, pemilih partainya lumayan solid memilih calon gubernur yang mereka ajukan.

Di Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama juga keok. Berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat, Ahok hanya membukukan 42 persen suara, meski hampir 90 persen pemilih PDI Perjuangan memilih mereka di putaran kedua. Ahok-Djarot, kata Hasto, kalah oleh kampanye politik identitas karena Ahok orang Kristen.

Berbeda dengan di Banten, calon PDIP di Jakarta kalah karena di hari terakhir menjelang pencoblosan meluas berita bagi-bagi bahan kebutuhan pokok oleh kubu Ahok. Menurut Eep Saefulloh Fatah, konsultan politik Anies Baswedan-Sandiaga Uno, rival Ahok, pembagian bahan pokok itu blunder yang membuat pemilik suara yang belum menentukan pilihan menjatuhkan pilihan kepada Anies.

Ada sekitar 12 persen pemilih Jakarta yang belum menentukan pilihan hingga H-3. Mereka diperkirakan mencoblos Anies setelah mendengar berita bagi-bagi paket sembilan bahan pokok itu. Buktinya adalah selisih suara Anies dan Ahok sekitar 10 persen. Suara Ahok nyaris tak beranjak dibanding putaran pertama tahun lalu. "Mereka yang membagikan sembako, kami yang panen suara," kata Eep.

Masalahnya, penyebar bahan pokok itu adalah para kepala daerah lain yang diminta berkampanye untuk Ahok. PDIP memanggil bupati, wali kota, gubernur, dan legislator daerah masuk Jakarta mempromosikan Ahok. Ada 108 kader partai yang terjun ke Ibu Kota. "Mereka yang tertangkap basah membagikan sembako," ujar seorang politikus PDIP.

Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Eriko Sotarduga tak menampik kabar tentang adanya kader yang membagikan atau menjual bahan pokok dengan harga murah. Hanya, kata Eriko, kegiatan tersebut tidak dilakukan oleh tim resmi Ahok-Djarot. "Tidak semua kepala daerah bagi-bagi sembako," ujarnya.

Sebenarnya, Eriko mengatakan, perolehan PDI Perjuangan naik signifikan dibanding pemilihan sebelumnya yang hanya menang di 24 wilayah. "Ada lebih dari 50 persen kabupaten-kota yang memenangkan calon kami," katanya.

Elite PDIP, menurut Eriko, lebih senang membahas persiapan kampanye untuk 2018. Soalnya, pemilihan tahun depan akan menjadi penentu suara partai dalam pemilihan 2019. Tahun depan, ada 171 daerah yang menggelar pemilihan kepala daerah.

Beberapa provinsi mendapat perhatian khusus karena jumlah pemilihnya banyak, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. "Kekalahan tahun ini harus disambut positif, biar kami tidak overconfident," ujar Eriko.

Di Jawa Barat, PDI Perjuangan sebenarnya bisa mengajukan calon gubernur tanpa berkoalisi dengan partai lain. Namun, menurut seorang politikus, mereka kini lebih realistis dalam melihat peta politik. "Kami mungkin cukup mengajukan calon wakil gubernur," kata politikus ini.

Hasto mengatakan belum tahu siapa yang bakal diusung sebagai calon gubernur di tiga provinsi Jawa tersebut. Menurut dia, partai akan lebih dini mengantisipasi isu komunisme yang mungkin disematkan kepada kader-kadernya. "Kalah-menang bukan kiamat," ujarnya.

Wayan Agus Purnomo, Ayu Cipta (Tangerang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus