Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemimpin yang begitu ingin dipuja justru menjadi sosok yang terisolasi dan dijauhi.
Keserakahan seorang pemimpin akan membawa kehancuran, baik bagi dirinya sendiri maupun kerajaannya.
Midas dan Duryodana menjadi simbol tragis dari pemimpin yang gagal memahami bahwa kekayaan dan kekuasaan yang diperoleh dengan cara yang salah hanya akan menjadi kutukan.
BAYANGKAN seorang pemimpin yang, seperti Raja Midas dalam mitos Yunani, terobsesi pada kekuasaan dan kekayaan. Setiap kebijakan yang dia sentuh—eh, maksud saya—tetapkan, langsung berubah menjadi emas. Tapi, sayangnya, bukan emas yang bermanfaat bagi rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebaliknya, emas-emas itu menutupi persoalan sesungguhnya yang dihadapi rakyat, pendidikan makin mahal, kesehatan menjadi barang mewah, dan sebagainya. Semua tampak mengkilap. Tapi coba digigit sedikit, ternyata cuma sekadar kilau tanpa nilai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tangan Midas, segala hal yang ia sentuh berubah menjadi kesempatan korupsi bagi dirinya dan kroni-kroninya. Proyek infrastruktur? Berubah menjadi tambang emas buat mereka. Tapi bagi rakyat, kebijakan itu malah menjerumuskan. Reformasi hukum? Kebijakan yang terlihat gemerlap bak emas. Tapi hukum justru digenggam erat oleh kaum oligark biar bisa main aturan sendiri.
Kritik? Ah, itu cuma angin lalu. Midas modern ini punya kemampuan luar biasa: membungkam segala bentuk kritik hanya dengan sentuhan kebijakan berlapis emas. Media massa yang mengkritik? Gampang, tinggal disentuh sedikit, langsung jadi media pendukung, lengkap dengan liputan kilat yang selalu menyanjung.
Berbalik Melawan
Namun yang paling tragis dari semua ini adalah bagaimana kekuatan Midas akhirnya berbalik melawan dirinya sendiri. Dalam khayalannya, dia berpikir bahwa emas bisa menutupi segala kekurangan. Padahal, di balik kilau emas, ada kesenjangan yang makin lebar, ketidakadilan yang makin nyata, dan kehancuran moral yang makin dalam. Rakyatnya kelaparan, tapi perut pemimpin tetap kenyang.
Sampai suatu saat, Midas mendapati bahwa emas yang dia ciptakan ternyata tak bisa ia makan. Kekuasaan dan kekayaan yang ia kumpulkan dengan serakah akhirnya menjadi kutukan yang memenjarakan dirinya sendiri.
Dan di sinilah ironi terbesarnya: pemimpin yang begitu ingin dipuja justru menjadi sosok yang terisolasi dan dijauhi. Midas terpenjara di dalam istana emasnya, tanpa ada seorang pun yang bisa menyelamatkan dia dari kesendirian.
Semua yang disentuhnya berubah menjadi emas, tapi tidak ada lagi yang benar-benar bernilai di sekitarnya, hanya kekosongan yang terbungkus kilauan semu. Akhirnya, rakyat hanya bisa mengenang dia sebagai pemimpin yang, seperti Raja Midas, mengubah segala sesuatu menjadi emas, tapi tak pernah benar-benar memahami arti kekayaan sejati.
Dalam lakon pewayangan Mahabharata, kisah seperti Midas juga ditampilkan dalam sosok Prabu Duryodana. Dia adalah raja dari Kerajaan Hastina yang terkenal karena ambisi, keserakahan, dan keinginan yang tak terpuaskan untuk memiliki kekuasaan.
Duryodana terobsesi pada kekuasaan dan kekayaan kerajaan sampai rela menghalalkan segala cara. Termasuk dengan memperdaya, menipu, dan memanipulasi hukum untuk merebut takhta dari Pandawa, kaum yang lebih berhak.
Duryodana sering digambarkan sebagai pemimpin yang keras kepala dan buta oleh kekuasaan, yang tidak bisa menerima kritik atau nasihat, bahkan dari orang-orang yang tulus peduli kepada dia. Sama seperti Midas yang tidak memahami dampak buruk kekuatannya, Duryodana juga tak memahami bahwa keserakahannya akan membawa kehancuran, baik bagi dirinya sendiri maupun kerajaannya.
Satu peristiwa yang sangat mencolok adalah saat Duryodana menggunakan segala tipu muslihat untuk merebut kerajaan dari Pandawa melalui permainan dadu yang curang. Kemenangan ini seperti “emas” bagi Duryodana. Tapi, seperti sentuhan Midas, kemenangan tersebut akhirnya menjadi kutukan.
Keberhasilan Duryodana dalam permainan curang itu memicu perang besar Bharatayuddha. Dampaknya besar, menghancurkan seluruh keluarganya dan mengakibatkan kematian banyak orang yang tak berdosa.
Duryodana juga terjebak dalam ambisi buta dan kebencian yang ia ciptakan. Pada akhirnya, ia menemui kehancuran yang disebabkan oleh keserakahannya sendiri. Dia kalah dalam pertempuran dan mati dengan penuh rasa penyesalan.
Gagal Mengenali Realitas
Melalui dua kisah tersebut, kita bisa melihat bagaimana keserakahan dan ambisi tanpa batas, baik dalam mitos Yunani maupun pewayangan Jawa, selalu berujung pada kehancuran. Baik Midas dengan emasnya, maupun Duryodana dengan kekuasaannya, menjadi simbol tragis pemimpin yang gagal memahami bahwa kekayaan dan kekuasaan yang diperoleh dengan cara yang salah hanya akan menjadi kutukan.
Pemimpin yang terjebak dalam keserakahan sering kali mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyatnya. Dalam kasus Midas, rakyat mungkin pada awalnya percaya bahwa kekayaan yang dihasilkan dari “sentuhan emas” akan membawa kemakmuran. Begitu pula dengan Duryodana, para pengikutnya mungkin percaya bahwa dia akan membawa kejayaan bagi Hastina.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kepercayaan itu berbalik menjadi kekecewaan. Yaitu ketika mereka melihat bahwa apa yang mereka dapatkan hanyalah bayangan dari janji-janji yang pernah diucapkan. Baik Midas maupun Duryodana akhirnya mendapati diri mereka terisolasi, bukan hanya dari rakyatnya, tapi juga dari orang-orang terdekat mereka.
Keduanya menunjukkan bahwa makin tinggi seseorang mendaki dalam keserakahan, makin sedikit orang yang akan tetap setia di sisi mereka. Pada akhirnya, mereka terpaksa menghadapi kehancuran mereka sendirian, tanpa dukungan atau belas kasihan dari siapa pun.
Meski tampaknya emas dan kekuasaan memberikan kekuatan tanpa batas, kisah ini menunjukkan batas-batas sebenarnya dari apa yang dapat dicapai melalui materialisme dan ambisi buta. Midas belajar bahwa emas tidak bisa mengobati rasa lapar atau memberikan kebahagiaan sejati. Demikian pula Duryodana yang menemukan bahwa kekuasaan yang diperoleh melalui tipu daya dan kekerasan tidak dapat bertahan lama.
Kisah ini juga bisa dihubungkan dengan realitas modern ketika para pemimpin sering kali terjebak dalam pola pikir Midas dan Duryodana. Dalam mengejar kekayaan dan kekuasaan, mereka mungkin mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, serta kebijaksanaan.
Hasilnya? Mereka menciptakan masyarakat yang terpecah, penuh ketidakadilan, dan akhirnya, mereka sendiri terjebak dalam jebakan yang mereka ciptakan. Ini adalah pengingat bahwa kekuasaan dan kekayaan tidak seharusnya menjadi tujuan akhir, melainkan menjadi sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.