Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Relasi Jiwasraya dan Pasar Modal

Kejaksaan Agung secara resmi telah menetapkan lima tersangka dugaan tindak pidana korupsi di PT Asuransi Jiwasraya.

21 Januari 2020 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kantor Pusat Asuransi Jiwasraya. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sutarno Bintoro
Tim Penyusun Pedoman Penanganan TPPU Pasar Modal KPK dan Doktor Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kejaksaan Agung secara resmi telah menetapkan lima tersangka dugaan tindak pidana korupsi di PT Asuransi Jiwasraya. Tiga di antaranya adalah bekas pejabat perusahaan tersebut, yakni bekas direktur utama Hendrisman Rahim, bekas direktur keuangan Hary Prasetyo, serta bekas kepala divisi investasi dan keuangan Syahmirwan. Dua tersangka lainnya adalah Direktur Utama PT Hanson International Benny Tjokrosaputro dan Presiden Komisaris PT Trada Alam Mineral Heru Hidayat. Mereka dikenakan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak awal, kasus ini sangat disayangkan terjadi karena seolah-olah tidak ada pengawasan dan proses customer due diligence yang ketat. Instansi yang berwenang melakukan pencegahan dan pengawasan terhadap asuransi juga seperti kecolongan, sehingga kasus ini lama tidak terdeteksi. Padahal nilai kerugian negara sangat fantastis, yakni Rp 13,7 triliun, dan pada November 2019 Jiwasraya diperkirakan mengalami negatif ekuitas sebesar Rp 27,7 triliun.

Kasus ini juga diduga melibatkan pasar modal karena, berdasarkan keterangan Badan Pemeriksa Keuangan, sepanjang pemeriksaan pada 2018 dan 2019 didapati 16 temuan yang berkaitan dengan pengelolaan bisnis, investasi, pendapatan, dan biaya operasional perusahaan itu selama 2014-2015. Salah satu temuan BPK itu adalah investasi terhadap saham TRIO, SUGI, dan LCGP pada 2014 dan 2015 tidak didukung kajian usulan penempatan saham yang memadai.

Temuan ini mengkonfirmasi hasil national risk assessment (NRA) yang dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2015. Laporan itu menyatakan bahwa pasar modal merupakan penyedia jasa keuangan (PJK) yang memiliki risiko tinggi sebagai tempat pencucian uang dengan level risiko 54,1, yang tergolong tinggi.

Namun, sejak Republik ini berdiri, baru ada tiga perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) di pasar modal dengan predicate crime korupsi yang dapat ditangani penegak hukum dan diputus di pengadilan. Ketiganya adalah perkara Muhammad Nazaruddin (2017) dan Bambang Irianto (2017) yang ditangani KPK serta perkara PT Asuransi Kredit Indonesia (2011) yang ditangani Kepolisian RI. Adapun perkara TPPU yang berasal dari tindak pidana pasar modal belum ada satu pun yang disidik.

Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan jasa keuangan, termasuk pasar modal. Tapi ia tak memiliki kewenangan melakukan penyidikan TPPU yang berasal dari pasar modal. Hal ini menjadi salah satu hambatan penanganan kejahatan pasar modal, sehingga revisi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sangat mendesak dilakukan. Selain itu, Undang-Undang Pasar Modal perlu disesuaikan dengan perkembangan terbaru.

Kinerja pasar modal Indonesia saat ini dinilai berhasil menduduki peringkat terbaik di ASEAN dan peringkat kedua di Asia-Pasifik setelah India. Kinerja yang sudah baik ini harus diimbangi dengan penegakan hukum yang baik pula, mengingat kejahatan di pasar modal, khususnya pencucian uang, lebih berbahaya daripada di penyedia jasa keuangan lainnya, seperti dana pensiun dan asuransi. Bahayanya, pencucian uang di pasar modal dan perbankan dapat mempengaruhi nilai harga saham, nilai tukar, dan suku bunga, yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian, kepercayaan masyarakat, dan kestabilan moneter.

Hasil kajian Indonesia Money Laundering Risk Assessment on Corruption 2017 yang dilakukan KPK, PPATK, Polri, dan kejaksaan menunjukkan bahwa jenis korupsi yang paling berisiko adalah kerugian keuangan negara dan suap-menyuap. Gratifikasi menempati urutan ketiga, disusul benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, perbuatan curang, pemerasan, serta penggelapan dalam jabatan. Dari peta risiko ini, kerugian keuangan negara dan suap-menyuap menjadi prioritas untuk pencegahan dan pemberantasan pencucian uang.

Khusus di sektor jasa keuangan (perusahaan efek), OJK dan PPATK juga telah melakukan kajian pada 2017. Kajian itu menyatakan ada dua jenis produk atau layanan pada sektor perusahaan efek yang berisiko tinggi digunakan untuk pencucian uang, yaitu efek bersifat ekuitas dan efek bersifat utang. Adapun berdasarkan saluran distribusinya, yang berisiko tinggi digunakan untuk pencucian uang adalah remote trading. Tingkat risiko online trading dan over the counter lebih rendah.

Minimnya perkara TPPU di pasar modal dengan predicate crime korupsi yang dapat diproses hukum mengindikasikan adanya persoalan serius yang dialami aparat penegak hukum dalam menangani perkara TPPU di pasar modal, baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan. Lemahnya pemahaman penyelidik, penyidik, dan penuntut mengenai TPPU dan pasar modal serta adanya beneficial owner dan tingkat kepatuhan perusahaan efek melakukan customer due diligence yang tidak sepatuh bank, semakin menambah persoalan. Maka, penegakan hukum terhadap Jiwasraya harus dijadikan momentum pembenahan menyeluruh sektor pasar modal, baik dari sisi regulasi maupun tata kelola (good governance), agar integritas pasar modal Indonesia tetap terjaga.

 
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus