Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ekonomi remitansi pekerja migran menjadi isu penting di berbagai negara.
Negara-negara didorong untuk menekan biaya pengiriman uang lintas negara.
Aliran remitansi menjadi alternatif pendanaan pembangunan di negara berkembang.
Bonataon Maruli Timothy Vincent Simandjorang
Peneliti di Pusat Riset Kebijakan Publik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekonomi remitansi pekerja migran menjadi isu penting di berbagai negara di dunia, khususnya dalam menekan biaya transfer uang antarnegara. Saat Indonesia memegang Presidensi G20 pada Juli tahun lalu, salah satu agenda prioritas adalah pengembangan pembayaran lintas negara yang interoperabilitas. Agenda itu kembali diangkat dan menjadi salah satu deklarasi para pemimpin ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN pada 11 Mei lalu. Dalam KTT G20 di Prancis pada 2011, para pemimpin G20 berkomitmen mengurangi biaya rata-rata pengiriman uang dari 10 persen menjadi 5 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut analisis Bank Dunia, pengurangan biaya pengiriman uang hingga 5 persen akan menghemat hingga US$ 16 miliar per tahun. Surplus ini dapat digunakan untuk makanan, perumahan, pendidikan, air, dan lain-lain, baik di negara miskin maupun negara berkembang. Penurunan biaya remitansi juga menjadi target tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), mengurangi ketimpangan di dalam negeri dan antarnegara, serta mengurangi biaya transaksi remitansi pekerja migran hingga 3 persen.
Bayangkan ketika seorang pekerja migran Indonesia (PMI), yang bekerja di suatu negara, berpikir saban hari tentang berapa banyak uang yang dia hasilkan dari siang hingga malam; berapa yang dapat dia kirim ke keluarganya di Pulau Samosir, Sumatera Utara, pekan ini; berapa biaya untuk mengirim uang itu; dan berapa rupiah yang akan diterima keluarganya. PMI tersebut merupakan satu dari hampir 250 juta pekerja migran internasional yang mengirim uang ke rumah untuk anggota keluarga mereka.
Bagi banyak orang di negara berkembang, pengiriman uang mereka dari luar negeri merupakan sumber pendapatan yang andal dan membantu mereka memenuhi kebutuhan. Jumlah uang yang dikirim para migran setiap tahun terus meningkat selama dekade terakhir. Menurut estimasi dari World Economic Forum, remitansi mereka mencapai US$ 794 miliar pada 2022, yang mengalir dari negara maju ke negara berkembang.
Pengiriman uang lintas negara tidaklah murah. Sudah lebih dari satu dekade, biaya pengiriman uang rata-rata 6,3 persen dari total jumlah dana yang dikirim pada akhir 2022 secara global. Biaya pengiriman remitansi dari beberapa negara G20 juga masih di atas 5 persen, seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Brasil, Prancis, Jerman, Korea Selatan, dan Afrika Selatan. Pengurangan biaya pengiriman uang dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan inklusi keuangan dan memaksimalkan dampaknya terhadap pembangunan berkelanjutan.
Remitansi yang dikirim para pekerja migran ini akan bermanfaat sangat besar bagi keluarga mereka. Agenda pengurangan biaya remitansi merupakan bentuk pelindungan bagi pekerja migran dan sejalan dengan Agenda Aksi Addis Ababa untuk pembiayaan pembangunan berkelanjutan.
Dari perspektif ekonomi, adanya permintaan pasar yang tinggi terhadap pekerja migran di negara-negara industri dan negara kaya telah memberikan devisa yang besar bagi Indonesia melalui remitansi yang diperoleh pekerja migran. Dalam Nawacita Jilid I Presiden Jokowi juga telah mengarahkan strategi dan kebijakan pemerintah untuk memperluas kerja sama dalam melindungi hak serta keselamatan pekerja migran. Salah satunya dengan memberikan penekanan kepada usaha-usaha untuk menurunkan biaya remitansi.
Pada 2022, ada 3,4 juta pekerja migran Indonesia yang menyumbang devisa berupa remitansi sebesar US$ 9,4 miliar, yang membuat Indonesia masuk dalam 10 besar negara penerima remitansi terbesar di dunia. Biaya rata-rata pengiriman remitansi telah mengalami penurunan, yaitu 8,31 persen pada 2009 menjadi 5,26 persen pada akhir 2022. Biaya pengiriman remitansi dari beberapa negara, seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Belanda, tercatat masih tinggi, di atas 6 persen.
Langkah konkret yang perlu diperhatikan adalah perlunya komitmen para pemimpin dunia, yang dapat dimulai dari pemimpin G20, untuk mendorong penurunan biaya remitansi. Karena itu, perlu beberapa langkah untuk dilakukan. Pertama, analisis mengenai penyebab tingginya biaya pengiriman uang. Kedua, memperkuat jaringan pos untuk pengiriman uang dengan pertimbangan bahwa biaya pengiriman uang melalui pos paling rendah dibanding layanan lain.
Ketiga, mempromosikan berbagi pengetahuan, replikasi, serta perluasan praktik terbaik yang murah dan aman. Keempat, pembekalan bagi pekerja migran dengan pengetahuan, pendidikan, dan keahlian mengenai investasi usaha mikro sebagai persiapan saat kembali ke Tanah Air dan memperbesar pemanfaatan jasa keuangan bagi pekerja.
Kelima, remitansi juga perlu menjadi agenda yang diusung Indonesia selaku Ketua ASEAN tahun ini. Remitansi sangat vital bagi pembangunan negara-negara ASEAN lain, seperti Filipina, Vietnam, dan Kamboja, yang kontribusinya mencapai 5 persen dari produk domestik bruto (PDB) mereka, tapi biaya pengiriman remitansi juga masih di atas 6 persen.
Aliran remitansi dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pendanaan pembangunan untuk menarik orang keluar dari kemiskinan, mengembangkan infrastruktur ekonomi negara asal, dan menyediakan aliran pendapatan tambahan untuk sektor keuangan. Baik melalui pengiriman uang, tabungan, maupun investasi, pekerja migran memiliki seperangkat instrumen yang kuat untuk mengubah kehidupan mereka sendiri dan kehidupan orang-orang di kampung halamannya.
Kerja sama serta komitmen forum regional dan global dapat membantu memastikan bahwa biaya transaksi untuk remitansi ini cukup terjangkau, efisien, cepat, dan aman. Sebagai satu-satunya negara ASEAN di G20, Indonesia perlu mendorong sebaik-baiknya agenda penurunan biaya remitansi untuk pembangunan guna memperkuat kepentingan ekonomi nasional serta menjadi diplomasi Indonesia untuk mendukung pembangunan yang berkualitas dan inklusif, yang sejalan dengan kepentingan negara-negara berkembang lainnya.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo