Ada hal-hal yang pokok, dan ada soal-soal kecil, dalam persetujuan penghentian permusuhan antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang ditandatangani 9 Desember lalu di Swiss. Yang pokok ialah dihentikannya semua bentuk kekerasan, permusuhan juga berhenti, senjata diletakkan, pasukan ditarik. Selanjutnya, proses ditempuh dengan cara damai.
Hal kecil yang dipermasalahkan ialah seperti sifat dan bentuk persetujuan, soal mengapa mesti dilakukan di luar negeri, ketidaksetaraan antarpihak, banyak rumusan yang terbuka untuk tafsiran berbeda. Masih banyak lagi hal sampingan yang selalu bisa dibesar-besarkan jadi masalah berat.
Akhirnya semua bergantung juga pada niat dan kemampuan kedua pihak. Kalau memang niatnya berdamai, perhatian akan dipusatkan pada tercapainya hal yang pokok dulu. Lalu dengan kondisi itu masing-masing melakukan penyesuaian, mencari jalan keluar baru. Tapi, kalau hati belum rela, kelemahan dan kekurangan teknis dokumen persetujuan saja bisa diungkit jadi bahan pertengkaran lagi.
Yang juga perlu adalah kemampuan untuk menertibkan dan memimpin barisan masing-masing. Kesepakatan para wakil jadi tak berarti kalau diingkari oleh bagian yang di samping atau di bawahnya. Kemampuan lain yang dibutuhkan ialah untuk terbuka menerima kemungkinan lain. Kalau tujuan akhir sudah dipatok mati, yang tak beranjak dari titik berangkat, sia-sia saja untuk berdialog selanjutnya.
Dialog lanjutan memang masih harus dilakukan. Isi persetujuan untuk menghentikan permusuhan RI dan GAM pada pokoknya cukup penting untuk pembuka jalan mencari penyelesaian politik, dan menghindari penyelesaian militer di Aceh. Perundingan—sudah beberapa kali—dibantu dan didorong oleh Henry Dunant Centre for Humanitarian Dialogue (HDC), yang berpusat di Swiss. Intinya ialah kedua pihak setuju untuk menemukan solusi damai bagi konflik di Aceh.
Caranya ialah dengan mempersiapkan kondisi yang aman dan bebas untuk melakukan pemilihan pemerintahan yang demokratis di Aceh, Indonesia, pada tahun 2004. Titik tolak dari pemilihan pemerintahan demokratis ini ialah Undang-Undang (Otonomi Khusus) Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk keperluan itu, undang-undang tersebut akan ditelaah ulang melalui suatu dialog yang mencakup seluruh unsur masyarakat di Aceh.
Kedua pihak menyatakan komitmen mereka untuk menghentikan permusuhan dan segala bentuk kekerasan. Untuk mengawasi dibentuk sebuah komite bersama, Joint Security Committee (JSC), yang terdiri dari pejabat senior yang mewakili RI dan pihak GAM, ditambah pejabat HDC sebagai pihak ketiga.
JSC merancang dan melaksanakan proses demiliterisasi, dan memilih serta mempersiapkan beberapa lokasi konflik untuk dijadikan "zona aman" (peace zones). Secara bertahap, dua bulan setelah persetujuan ditandatangani, GAM akan menyimpan senjata di zona yang ditentukan. Seluruhnya akan selesai dalam jangka waktu lima bulan.
Bersamaan dengan itu, pasukan TNI juga akan ditarik dari posisinya yang berhadapan dengan GAM dan diubah tugasnya dari pasukan tempur menjadi tugas pertahanan biasa.
Seperti disebutkan tadi, yang penting adalah niat baik, karena memang masih ada dalam persetujuan ini hal yang mudah jadi pangkal sengketa. Pemerintah RI dan GAM masih belum bersetuju atau bersatu tujuan betul. Tujuan RI, melalui penyelesaian damai, mencapai daerah otonomi khusus Aceh di dalam negara Indonesia. Tujuan akhir GAM, juga melalui penyelesaian damai yang sama, adalah membentuk pemerintahan bangsa Aceh yang mandiri, di luar negara Indonesia.
Terlalu dini untuk mempertentangkan kedua pilihan yang berlawanan ini sekarang. Beri waktu dulu agar proses persetujuan penghentian permusuhan ini membuahkan rasa saling percaya. Baru dialog dibuka lagi, untuk mencari alternatif lain yang mungkin saja belum pernah ditemukan selama ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini