Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tentang 'Fatwa Mati' untuk Ulil

Ancaman mati itu bisa berbahaya dan membatasi kebebasan berpikir yang diagungkan Islam.

8 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang terjadi jika sebuah pendapat berupa penafsiran terhadap ajaran agama dibalas dengan kekuatan disertai ancaman kematian? Di situlah kemandekan berpikir tengah berlangsung, mungkin tanpa disadari. Kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat tak lagi mendapat tempat. Kejumudan intelektual mengancam di depan mata. Dan yang lebih fatal, ada bahaya anarki atas nama agama, yang justru secara prinsip tak bisa dibenarkan oleh agama itu sendiri.

Itulah yang tengah terjadi setelah Ulil Abshar-Abdalla menulis kolom Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam di harian Kompas, 18 November lalu. Kolom itu mendapat reaksi keras dari sekitar 80 ulama yang mengklaim mewakili 15 pesantren di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di bawah koordinasi Ustad Athian Ali dari Forum Ulama Umat Indonesia di Bandung, mereka lalu meneken "fatwa" atau petisi mati untuk pemikir muda Nahdlatul Ulama yang kini memimpin Jaringan Islam Liberal itu. Ulil dinilai "menghina Allah, Islam, dan Nabi Muhammad SAW" sehingga layak dihukum mati.

Ulil, atau siapa pun yang getol berkontemplasi, tentu saja tak bermaksud bertindak sehina dan sebodoh itu. Ulil—yang hidup di lingkungan pondok pesantren dan anak seorang kiai di Pati—justru bersikap kritis demi mengharumkan nama agama yang dianut dan diyakininya itu. Agama Islam, dalam bahasa Ulil, sering dipahami secara salah oleh sebagian pemeluknya yang biasa berpikir literer, skripturalis. Bahwa penafsiran Ulil—yang dia akui merupakan kombinasi antara pemahamannya terhadap teks dan konteks ajaran—keliru, menyimpang, atau mengandung kelemahan metodologis di berbagai sisi, bukanlah mustahil. Tapi mestinya hal itu cukup ditanggapi dengan argumentasi yang memadai.

Dalam pergulatan pemikiran Islam, tradisi berbeda pendapat sudah menjadi bagian yang melekat sejak dulu. Imam Al-Ghazali dan Ibn Rusyd pernah berpolemik ihwal filsafat lewat tulisan-tulisan mereka yang kemudian sama-sama dikenang sebagai karya agung. Almarhum Syekh Abdul Aziz bin Baz, ulama terkemuka dan mufti Kerajaan Arab Saudi, dan para pengikutnya pernah berdebat sengit dengan Sayyid Muhammad Alawy al-Maliky tentang tasawuf, perayaan hari besar Islam, sampai ziarah kubur. Seorang murid Sayyid Muhammad berkisah, adu hujah berlangsung seru, kedua kubu sama-sama mencetak buku bertruk-truk dan membagikannya kepada khalayak agar mereka melek pikir.

Di negeri ini pun tradisi berbeda itu sudah berkembang lama. Ingatlah dulu ketika Indonesia diramaikan dengan debat antara Nurcholish Madjid dan Daud Rasyid dkk. soal kalimat tauhid, atau saat Abdurrahman Wahid pernah bikin heboh dengan gagasan "pribumisasi" Islamnya—sehingga ia dicap bak imam yang batal. Tapi semuanya cuma berujung pada perdebatan sehat—paling banter saling maki. Tak ada vonis mati. Tak ada darah mengucur.

Ancaman membunuh justru menunjukkan betapa sempitnya ajaran agama dipahami. Sebab, banyak teks yang menekankan prinsip tabayun (klarifikasi) dan tasamuh (toleransi) dalam menyelesaikan pandangan yang dianggap aneh, tak lazim, atau bahkan menyimpang. Quran menekankan pentingnya cara kebajikan dan hikmah dalam beradu argumentasi (wal mauizatil hasanah, wajaadilhum billati hiya ahsan). Nabi SAW pun pernah mengingatkan, "Ikhtilafu ummati rahmah, beda pendapat di antara umatku adalah rahmat."

Ustad Athian menganggap petisi mati dari kelompoknya itu merupakan argumentasi balasan berdasarkan teks ajaran yang mereka pahami. Tapi sikap ini bukan lantas mengecilkan impak buruk yang mungkin bisa terjadi. Apalagi dibikin secara terbuka dan disebarluaskan ke pelbagai media massa. Bisa saja "fatwa" mati itu lantas menjadi bola liar yang bisa disalahgunakan sekelompok orang yang memandang petisi tadi sebagai harga mati. Tak mustahil jika ada sekelompok umat yang merasa terikat dengan seruan bersama berstatus "fatwa" itu.

Pendapat harus dihadapi dengan pendapat. Bukan dengan tindakan yang bisa mematikan badan ataupun pikiran. Jika Ulil merasa terancam dengan "fatwa" itu, sudah sepantasnya ia meminta hukum negara melindunginya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus