Keberhasilan polisi menangkap Muchlas merupakan prestasi yang patut dibanggakan tapi sekaligus juga diwaspadai. Soalnya, pria yang dilahirkan dengan nama Ali Gufron ini diduga kuat bukan lagi berada dalam tataran pelaksana lapangan seperti Abdul Aziz alias Imam Samudra, melainkan masuk dalam kategori aktor intelektualnya. Jika asumsi ini benar, metode induktif dalam penyidikan polisi selama ini kemungkinan besar tak akan lagi setajam sebelumnya, bahkan boleh jadi akan mandul. Suka atau tidak suka, polisi harus mulai mengembangkan pula metode deduktif yang efektif bila ingin mendapatkan berkas perkara yang meyakinkan orang ramai di sidang pengadilan nanti. Bukan perkara gampang, karena cara deduktif mudah terkontaminasi oleh berbagai kepentingan para penyidiknya, termasuk oleh agenda politik.
Metode induktif, yaitu menelusuri fakta di tempat kejadian dengan cara forensik, adalah cara paling efektif untuk menemukan para pelaku di lapangan. Soalnya, secara fisik mereka pasti meninggalkan jejak yang dapat ditelusuri dengan memanfaatkan kemampuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Namun, begitu memasuki pelacakan untuk menjaring para aktor intelektualnya, jejak fisik ini akan putus. Walhasil penyidikan polisi akan semakin bergantung pada pengakuan para pelaksana yang ditangkap.
Pengakuan yang diharapkan ini jelas sulit didapat. Pemeo "mana ada maling mengaku" juga berlaku di kalangan teroris. Karena itu, upaya penyidikan aktor intelektual pada akhirnya adalah kegiatan merekonstruksi bagian-bagian penting dari kegiatan jahat mereka. Membangun tuntutan hukum seperti ini tentu membutuhkan informasi pendahuluan yang memadai, yang kemudian diuji silang dengan keterangan tertuduh, para saksi, dan dukungan bukti fisik seperti catatan lalu-lintas telepon ataupun dokumen lainnya.
Pihak kepolisian telah membuktikan kemampuan mereka mendapatkan bukti-bukti fisik yang membuat para pengebom Bali akhirnya mengakui perbuatan mereka. Kini tantangan yang dihadapi adalah kebolehan mereka dalam memperoleh informasi yang memadai tentang komplotan di belakang aksi sadistis tersebut. Dinas intelijen asing ataupun Badan Intelijen Negara umumnya meyakini keterlibatan organisasi Jamaah Islamiyah dalam tragedi pengeboman Bali ataupun saat malam Natal dan menjelang tahun baru tahun 2000. Para penyidik kepolisian tentu tak boleh menerima informasi mereka begitu saja, dan harus memverifikasinya dengan temuan di lapangan.
Kecermatan dan kehati-hatian dalam mengolah informasi dari institusi intelijen adalah kewajiban yang tak boleh terlalaikan. Sebab, dinas rahasia negara asing punya berbagai kepentingan yang tak selalu selaras dengan kemaslahatan kita. Adapun Badan Intelijen Negara (BIN) masih memanfaatkan banyak personel yang di masa lalu dicurigai kerap merekayasa berbagai skenario politik ataupun hukum untuk kepentingan penguasa.
Kendati demikian, bukan pula berarti semua pasokan informasi mereka harus dibuang ke keranjang sampah. Yang harus dilakukan adalah memilah-milahnya dengan baik—kalau perlu dengan melakukan cek silang berkali-kali—menjadi data yang masuk kategori dapat dipercaya, yang perlu diverifikasi lagi, dan yang memang layak dicampakkan. Sebab, kebenaran kadang kala juga terdapat di tempat-tempat yang tidak kita sukai.
Semua ini adalah pekerjaan berat yang membutuhkan keuletan, kecermatan, dan juga berbagai sumber daya yang memadai. Padahal, harus diakui, polisi sangat miskin dalam hal sumber daya intelijen organisasi radikal di negeri ini. Maklum, di masa Jenderal Soeharto berkuasa selama tiga dekade, pekerjaan memantau organisasi berbahaya dilakukan oleh dinas intelijen militer. Karena itu, Presiden Megawati sepatutnya segera memberi instruksi kepada Panglima TNI ataupun Kepala BIN agar menyerahkan data yang mereka miliki tentang kelompok radikal di Indonesia kepada polisi. Perintah resmi ini dibutuhkan mengingat masih bermasalahnya hubungan TNI dengan polisi setelah dipisahkan, setidaknya jika melihat maraknya tawuran antara tentara dan polisi di berbagai penjuru negeri dalam tempo belakangan ini.
Bahkan, dalam rangka memperbaiki kinerja pemerintah di bidang keamanan, ada baiknya segera disusun undang-undang yang mengatur masalah intelijen. Perangkat hukum ini harus dirancang untuk memastikan institusi intelijen tidak menjadi alat penguasa atau kepentingan politik praktis, melainkan menjadi alat negara yang bekerja secara profesional dalam mendeteksi kehadiran ancaman bagi rakyat Indonesia. Kita tentu berharap pengeboman Bali adalah teror terakhir di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini