Sri Mulyani Indrawati
Ekonom
AKHIRNYA Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengukuhkan fatwa pengharaman bunga bank. Pengukuhan riba adalah haram sebelumnya telah dilakukan Mu'tamar al-Fiqh al-Islam di Paris (1951), Kairo (1965), dan pertemuan Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 1985 dan 1986. Namun perbedaan pendapat dan pandangan mengenai masalah suku bunga hingga saat ini tetap berlangsung karena sulitnya menentukan definisi, interpretasi, dan bahkan semantik yang konsisten dan tepat.
Riba yang diterjemahkan sebagai usury adalah haram, tapi usury tidak identik dengan suku bunga. Ekonom Islam seperti Chapra segan menganalisis perbedaan antara usury dan suku bunga dengan alasan membedakan keduanya membawa implikasi konseptual yang serius. Misalnya ketika suku bunga yang ditetapkan mekanisme pasar berada pada tingkat yang sangat tinggi sehingga menimbulkan dampak ketidakadilan. Jika suku bunga dianggap halal, dikhawatirkan usury juga menjadi tidak haram.
Saya berasumsi bahwa Islam tidak melarang hanya karena sesuatu diberi label riba. Alasan intrinsik di balik pelarangan itu perlu dikupas. Al-Quran pun memberikan nuansa perubahan sikap yang gradual terhadap fenomena riba dari ayat 39 (Surat Al-Ahzab), yang menyatakan bahwa riba tidak akan meningkatkan kekayaan, An-Nisa 160 yang mencela riba, hingga Al-Baqaroh 274-280 yang melarang riba. Perbedaan pandangan tentang suku bunga menandakan bahwa banyak umat Islam tidak mau menerima begitu saja paham keislaman yang bersifat doktriner tanpa melalui proses analisis kritis, apalagi bila hal itu menyangkut hal duniawi yang bisa diuji secara empiris.
Dalam ajaran dan larangan yang kontekstual dan mengacu pada suatu fenomena atau produk tertentu, saya melihat masih ada ruang untuk melakukan kajian dan perlu analisis kritis. Kita tidak ingin terjebak dalam interpretasi sempit yang sering menjadikan umat Islam kian marginal karena takut memakai logika dan analisis kritis dengan ancaman dosa dan neraka. Ekonomi Islam yang bertujuan selalu menjaga agar transaksi ekonomi dilakukan secara adil, jujur, bertanggung jawab, dan menghormati hak orang lain (terutama yang lemah) sejalan dengan fenomena ekonomi global yang juga kian mengedepankan pentingnya aspek keadilan dan good governance.
Dalam semua literatur ekonomi Islam tentang riba di- sebutkan paling tidak dua alasan mengapa diharamkan, yaitu umat Islam tidak diperbolehkan menerima suatu hasil/pendapatan tanpa jerih payah, dan umat Islam dilarang menerima riba karena dianggap melalui proses transaksi yang tidak adil dalam hal risiko. Ketidakadilan ini terjadi dengan anggapan risiko untuk menghasilkan bunga dari pokok pinjaman hanya pada debitor dan bank, sementara penabung tidak menanggung risiko sama sekali. Tiga aspek fundamental yang harus dikaji tentang pengharaman riba yaitu definisi jerih payah, risiko, dan adil.
Konsep pertama yang menyangkut jerih payah secara sederhana selalu diartikan sebagai keterlibatan seseorang dalam proses menghasilkan output/pendapatan seperti petani menanam padi, buruh bekerja di pabrik, seniman menghasilkan karya, dan wiraswasta berbisnis. Dalam konteks ini orang dihalalkan menikmati hasil kerjanya baik dalam bentuk gaji, honor, maupun keuntungan. Bila seseorang menyimpan kelebihan penghasilannya untuk ditabung, simpanan itu lalu menghasilkan bunga, apakah tidak bisa didefinisikan bahwa hasil tabungan juga merupakan hasil jerih payahnya?
Bila tabungan itu kemudian digunakan membeli tanah/rumah, lalu disewakan pada orang lain, hasil sewa itu menjadi halal. Bila tabungan tersebut dibelikan emas yang harganya meningkat sehingga terjadi keuntungan karena selisih harga, "keuntungan" itu juga menjadi hak yang halal. Karena itu, sungguh sulit menerima secara logika bahwa perubahan bentuk aset dari uang ke tanah atau emas membuat posisi pendapatan dari asetnya berubah dari haram menjadi halal.
Jika konsep jerih payah harus diartikan sebagai keterlibatan langsung dalam proses produksi, bagaimana dengan orang yang menuai sarang burung walet liar, atau petani yang menebang pohon di hutan, bahkan rakyat Indonesia (terutama kelas menengah) yang menikmati subsidi listrik dan BBM? Bukankah mereka bisa dikategorikan seperti orang yang menerima bunga bank. Jika bunga haram, apakah hasil mereka juga haram? Tampaknya konsep jerih payah bukan alasan kuat untuk mengharamkan bunga.
Maka aspek risiko dan keadilan yang mungkin menjelaskan. Argumen umum dari literatur Islam menyebut penikmat suku bunga dikatakan tidak menanggung risiko, sedangkan debitor menanggung risiko bila usahanya gagal. Dengan demikian ada ketidakadilan dalam transaksi ini. Pada kenyataannya, penabung juga menghadapi berbagai risiko seperti ketika terjadinya krisis perbankan yang bisa menyebabkan bank bangkrut dan tabungan nasabah hilang.
Di negara kapitalis, bank komersial perlu menyatakan bahwa mereka anggota asuransi penjaminan, sehingga uang tabungan nasabah akan ditanggung sampai jumlah tertentu bila bank bangkrut. Dengan demikian, risiko kebangkrutan bank sangat kecil, sehingga tidak bisa dianggap sebagai ukuran menakar risiko. Argumen ini dirasa sangat lemah karena peminjam pasti sudah menghitung risiko. Artinya, meskipun risiko gagal ada, peminjam yakin bahwa peluang sukses lebih besar. Bank juga memiliki perhitungan risiko dan kesuksesan. Tidak ada perbedaan antara risiko sebuah bank yang ditutup dengan risiko usaha gagal. Argumen kegagalan selalu harus menyertakan kemungkinan keberhasilan sehingga pem- bahasan aspek ini menjadi lengkap dan konsisten.
Dalam literatur ekonomi konvensional dikenal konsep opportunity cost, yaitu uangnya yang ditabung akan "kehilangan" kesempatan digunakan untuk kegiatan lain, termasuk investasi yang mungkin menghasilkan keuntungan lebih tinggi dibandingkan dengan bunga. Allah menciptakan manusia dengan beragam sifat, antara lain mereka yang suka pada risiko (risk seeker), dan mereka yang segan atau tidak berminat pada risiko, cenderung memilih alternatif aman (risk averse). Setiap pilihan penggunaan uang (ditabung atau investasi) memiliki risiko dan hasil akhir yang berbeda. Ini dapat dijelaskan secara mudah dengan teori probabilitas sederhana. Dengan demikian alasan bahwa penerima suku bunga tidak menanggung risiko jelas sangat lemah.
Aspek ketiga yang digunakan sebagai alasan pengharaman bunga adalah faktor keadilan, yakni penabung menerima bunga tabungan secara pasti dan tetap tanpa risiko, sedangkan debitor harus mengembalikan utang, apa pun yang terjadi, dengan segala risiko. Padahal, yang terjadi tidak selalu seperti itu karena dalam transaksi antara penabung dan peminjam terdapat ketidaksempurnaan informasi (asymetric information). Debitor memiliki informasi lebih lengkap mengenai segala kemungkinan, termasuk tentang karakter usahanya dan dirinya, tidak demikian halnya dengan penabung dan bank. Kondisi ini menimbulkan situasi yang dikenal sebagai principal-agent problem, yang menghasilkan kemungkinan problem moral hazard atau selection bias. Keduanya lebih merugikan pihak yang memiliki informasi lebih sedikit.
Kebanyakan krisis dan ambruknya sistem perbankan di seluruh dunia, bahkan di negara yang menggunakan sistem syariah, justru terjadi pada saat debitor gagal atau ngemplang, dan bank tidak mampu menarik kembali pinjamannya karena sistem hukum yang lemah. Akhirnya modal bank habis atau negatif, uang penabung hilang. Pengalaman krisis perbankan di dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan bahwa risiko terbesar justru ada di pihak bank, penabung, dan juga negara dan rakyat harus ikut menanggung karena pemerintah mem-bail out bank insolven.
Ketidakadilan dalam konsep suku bunga sering dicontohkan dengan fenomena suku bunga yang tinggi. Tahun 1998, ketika krisis ekonomi dan perbankan Indonesia mencapai puncaknya, suku bunga simpanan pernah mencapai 70 persen, tapi inflasi juga sekitar 80 persen, sehingga sesungguhnya rugi. Akhir-akhir ini di banyak kawasan dunia, terutama Jepang, Cina, dan Eropa, justru terjangkit deflasi yang me- nyebabkan suku bunga nominal mendekati nol. Kondisi ini merupakan hasil kebijakan makro yang tidak inflatoar, mengempisnya bubble yang menyebabkan harga aset merosot, dan naiknya produktivitas karena perbaikan teknologi. Dengan demikian argumen tentang ketidakadilan dari tingginya suku bunga menjadi sangat relatif dan menjadi lemah.
Karena itu, berdasarkan pembahasan ketiga aspek tadi, mestinya kita mengkaji kembali fatwa pengharaman bunga. Barangkali riba yang diharamkan lebih mengacu pada fenomena rentenir, yang bunganya sangat mencekik peminjam. Surat Al-Imran 130 mencela transaksi seperti ini. Fenomena rentenir, seperti juga ijon, muncul karena para peminjam berada dalam posisi tawar yang lemah (baik karena terdesak situasi maupun akses pada sumber pinjaman lain praktis tidak ada) sehingga harus menerima perjanjian yang tidak adil. Dalam ilmu ekonomi konvensional ditunjukkan fenomena kegagalan pasar seperti monopoli, ketiadaan akses, dan tidak sempurnanya informasi yang mencelakakan pihak lemah, yang mengharuskan adanya koreksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini