Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pengacara dan Uang

11 Januari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Todung Mulya Lubis Konsultan Hukum KARENA Enron merupakan perusahaan raksasa, dampak keruntuhannya tiga tahun lalu sungguh luar biasa. Paling tidak, ribuan pekerja telah kehilangan mata pencaharian dan semua tunjangan, para pemodal kehilangan investasinya, dan sebuah perusahaan akuntan raksasa, Arthur Andersen LLP, ikut runtuh. Perusahaan yang selama ini menjadi rekanan atau pemasok menjadi korban. Lalu, muncullah tuduhan adanya manipulasi dan korupsi dalam perusahaan multinasional. Tudingan ini yang menyamaratakan semua perusahaan sebagai perampok, tempat para eksekutif dan profesional khususnya akuntan dan lawyers sebagai kriminal yang tak punya integritas dan etika bisnis. Tidak aneh jika pemerintah Amerika segera turun tangan membenahi aturan main korporasi yang selama ini sepertinya dibiarkan sangat longgar. Gara-gara kasus Enron, ada semacam public distrust yang menguat bahwa para eksekutif, akuntan, dan lawyers alias pengacara telah melanggar fiduciary duty mereka kepada pemegang saham, pemegang obligasi, dan para stakeholders lainnya. Banyak orang mencibir ketika bicara mengenai profesi akuntan dan pengacara yang seharusnya mengemban tugas publik yang mulia. Saya kira cibiran itu tak sepenuhnya salah karena memang sangat banyak anggota masyarakat profesi yang menyalahgunakan profesi mereka untuk memperkaya diri tanpa memikirkan orang lain. Simak saja novel John Grisham, The King of Tort, yang bercerita tentang ulah pengacara yang melakukan apa yang disebut mass tort litigation atau class action yang membuat mereka mengeruk uang secara fantastis sehingga mampu mempunyai mainan-mainan mewah seperti pesawat, kapal pesiar, rumah di mancanegara, segala macam mobil terbaru, dan kekasih gelap. Lalu, akal sehat kita akan bertanya: apa yang salah dengan profesi ini? Apakah profesi ini sudah kehilangan rasa kemanusiaan, empati sosial, dan rasa keadilan? Apakah profesi ini sudah menjadi budak uang? Sambil kita merenungkan deretan pertanyaan itu, marilah kita lihat kemujuran yang dialami para pengacara setelah kasus Enron meletup. Skandal Enron yang merugikan ribuan pekerja dan pemodal itu ternyata telah menguntungkan banyak sekali lawyers yang bekerja di banyak firma hukum. Paling tidak ada 107 firma hukum terkemuka dari jumlah 200 firma hukum di Amerika memperoleh pekerjaan dari Enron, yang mencakup bidang litigasi, kepailitan, pembelaan pidana, pembelaan terhadap kantor akuntan Arthur Andersen LLP, dan sebagainya. Semua ini belum termasuk para pengacara yang mewakili para penggugat yang menggugat Enron dan Arthur Andersen LLP, para lawyers pemerintah yang mengobok-obok Enron dan Arthur Andersen LLP, dan para lawyers yang mendapat permintaan dari berbagai perusahaan yang khawatir bahwa skandal Enron akan menimpa diri mereka. Skandal Enron adalah bonanza bagi banyak sekali lawyers. Kalau istilah bonanza digunakan di sini, saya tidak bermain-main. Menurut penelitian Laura Pearlman dalam majalah The American Lawyer, 2Mei 2002, Enron akan mengeluarkan biaya ratusan juta dolar untuk membereskan semua persoalan yang melilitnya. Biaya US$ 120 juta untuk kepailitan sekitar sepuluh tahun silam, yang dikeluarkan oleh Federated Department Store Inc, tampaknya sudah menjadi jumlah yang kecil dalam kasus Enron. Dalam tiga bulan pertama sejak skandal Enron meledak, beberapa firma hukum mengeruk uang (legal fee) jutaan dolar. Firma hukum Weil, Gotshal & Manges (New York) mengeruk US$ 6,6 juta; firma hukum Andrews & Kurth (Houston) kebagian US$ 4,5 juta; firma hukum Wilmer, Cutler & Pickering (Washington, DC) mendapatkan US$ 3,2 juta; firma hukum Milbank, Tweed, Hadley & McCloy (New York) mengeruk US$ 2,9 juta; firma hukum LeBoeuf, Lamb, Greene & MacRae (New York) kebagian US$ 2,2 juta; dan firma hukum Caldwalader, Wickersham & Taft (New York) mengeruk US$ 575,7 ribu. Ini baru bicara tentang enam firma hukum. Pertanyaannya: berapa banyak dolar yang sudah digerus oleh 101 firma hukum lainnya yang juga kebagian pekerjaan dari Enron? Yang jelas, jumlahnya pasti ratusan juta dolar. Menjadi pengacara di dalam ekonomi sulit ternyata tetap mendatangkan pemasukan besar, dan fenomena ini ternyata bukan hanya fenomena di Amerika. Di negara-negara Eropa, hal yang serupa terjadi. Demikian pula di Indonesia. Krisis ekonomi yang menimpa negeri ini sejak 1998 telah memberikan lahan bisnis baru bagi para pengacara, khususnya yang bergerak dalam bidang litigasi. Setiap hari kita membaca gugatan baru dimasukkan ke pengadilan, tidak saja di Jakarta, tapi di kota-kota kecil di luar Jakarta. Dan yang menjadi tergugat justru perusahaan-perusahaan keuangan raksasa yang bermarkas di New York, Houston, London, Hong Kong, Paris, dan sebagainya. Yang menarik, dalam gegap-gempita litigasi bisnis sekarang ini, kita berpapasan dengan banyaknya firma hukum internasional yang masuk ke Indonesia yang membuat litigasi menjadi bagian dari praktek bisnis internasional. Internasionalisasi litigasi ini tentu tak disenangi oleh banyak anggota profesi hukum, tetapi inilah realitas baru yang kita hadapi. Globalisasi yang kita juga dukung melalui WTO (World Trade Organization) dan AFTA (ASEAN Free Trade Area) tak bisa kita tampik. Sikap positif diperlukan dalam realitas yang semakin kompetitif ini, yaitu sikap berani bersaing secara profesional. Lihat saja gugatan yang diajukan oleh PT Tri Polyta Indonesia Tbk, sebuah perusahaan yang ditengarai dimiliki oleh keluarga bekas penguasa negeri ini. Perusahaan ini menggugat 97 tergugat yang pada umumnya lembaga-lembaga keuangan internasional yang berasal dari mancanegara. Gugatan yang diajukan di Pengadilan Negeri Serang, sekitar dua jam perjalanan dari Jakarta, telah memberikan pekerjaan kepada banyak firma hukum. Firma-firma hukum terkemuka di Jakarta mendapat fee yang terbilang besar setiap jamnya untuk ukuran Indonesia. Tentu kita tak bisa membandingkan jumlahnya dengan yang didapat firma-firma hukum Amerika, karena kompleksitas pekerjaan yang berbeda. Kreativitas para pengacara di negeri kita pun masih perlu diasah. Satu hal yang pasti, kebanyakan sifat pengacara kita adalah menunggu. Padahal pekerjaan itu mesti diciptakan secara kreatif. Jadi, beruntunglah para pengusaha di negeri ini karena mereka belum berhadapan dengan budaya firma hukum yang mampu mencetak harga beperkara yang jutaan dolar. Meski begitu, bukan berarti bahwa jumlah uang yang mesti dikeluarkan oleh para tergugat terbilang kecil. Sebuah gugatan lain diajukan di Pengadilan Negeri Bengkalis oleh PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk terhadap 14 tergugat yang juga terdiri dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang bermarkas di luar Indonesia. PT Indah Kiat Pulp & Papers Tbk, yang katanya merupakan bagian dari kelompok Asia Pulp and Paper Company (APP), memang tengah dihadapkan pada banyak persoalan keuangan akibat banyaknya kredit yang sudah lama jatuh tempo. Sebetulnya perkara yang menimpa APP sudah banyak kita baca di media internasional, dan pada umumnya APP berada pada posisi sebagai pihak yang digugat. Ini merupakan persoalan umum yang dihadapi oleh banyak perusahaan konglomerat di Indonesia, yaitu ketidakmampuan membayar kredit yang sudah jatuh tempo. Hanya, akhir-akhir ini berkembang gejala yang sukar dicerna karena gugatan yang dimasukkan ke pengadilan justru datang dari perusahaan yang berutang yang tak mampu membayar utang. Gugatan yang ditujukan kepada lembaga keuangan pemberi utang tersebut tujuan akhirnya untuk tidak membayar utang. Ada logika hukum yang dijungkirbalikkan dalam berbagai gugatan para penunggak utang yang membuat nalar hukum kita terbengong-bengong. Apakah ini puncak dari kreativitas hukum yang genius? Mengatakan bahwa pengutang tak boleh menggugat ke pengadilan adalah tidak tepat. Tapi logika hukum sederhana akan selalu mengatakan bahwa biasanya yang mengajukan gugatan ke pengadilan adalah pihak yang memberi utang yang tak memperoleh kembali pembayaran atas semua utang yang diberikannya. Persoalannya: kenapa persoalannya justru terbalik? Lebih jauh lagi adalah karena gugatan yang masuk ke pengadilan tampaknya dipersiapkan untuk menghindar dari kewajiban membayar utang, tempat pengadilan memberikan stempel hukum atas penghindaran tersebut. Sayang sekali, para pihak yang melakukan litigasi penghindaran kewajiban membayar utang ini tak berpikir akan dampak negatif dari semua litigasi ini terhadap perekonomian Indonesia karena negeri ini akan dijauhi oleh para penanam modal, negeri ini akan dikategorikan sebagai negara yang tak berhukum. Iklan buruk tentang tak adanya kepastian hukum di negeri ini tengah dipasang dengan model litigasi penghindaran kewajiban membayar utang ini. Kalau demikian, sia-sia semua upaya pemerintah untuk mengundang masuknya modal ke negeri ini karena modal tak akan masuk kalau tak ada jaminan hukum. Akibatnya, tingkat pertumbuhan ekonomi akan tetap rendah, dan ini tak akan mampu menopang kebutuhan rakyat yang semakin meningkat. Keadaan ini tak bisa dibiarkan berlanjut. Profesi lawyers akan semakin tercemar kalau tak mampu memperbaiki keadaan hukum di negeri ini. Karena itu, sudah waktunya suatu revolusi hukum dilakukan, khususnya di tubuh pengadilan, agar ada filter hukum terhadap gugatan-gugatan yang sifatnya malicious, agar pengadilan tak dijadikan sebagai bagian dari mata rantai yang menginjak-injak hukum. Dalam konteks ini, gagasan akan perlunya proses dismissal diperkenalkan di tubuh pengadilan harus ditanggapi secara arif, walau pada asasnya pengadilan tak boleh menolak perkara yang dimasukkan. Para hakim tak boleh berlindung di balik asas "tak boleh menolak perkara", dan para pengacara pun hendaknya jangan membuat gugatan yang menjungkirbalikkan logika hukum. Sementara di Amerika banyak pengacara yang digugat ke pengadilan, saya khawatir hal ini akan terjadi di negeri ini. Menambang uang adalah sah. Yang tidak sah adalah menambang uang dengan memanipulasi hukum. Semoga para pengacara tak terjerembap menjadi budak uang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus