Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap upaya mencapai mufakat punya dua musuh besar. Dominasi mayoritas dan tirani minoritas adalah istilah populer yang melekat pada keduanya. Apa yang terjadi belakangan ini di Senayan menunjukkan kedua hal tersebut. Jurus dominasi mayoritas dikembangkan oleh kelompok Koalisi Kebangsaan dan ditangkis oleh Koalisi Kerakyatan dengan menampilkan tirani minoritas. Akibatnya, kata mufakat buron dari gedung Dewan Perwakilan Rakyat dan kinerja parlemen yang belum sebulan dilantik itu pun jalan di tempat.
Siapa yang rugi? Jelas, rakyat yang mereka wakili, yang telah bersusah payah datang ke bilik pemilihan, lalu mencoblos dalam kegiatan nasional yang berongkos triliunan rupiah itu, dengan harapan aspirasi mereka akan didengar dan diperjuangkan oleh para kandidat yang dipasang partai-partai politik yang bertarung. Aspirasi umum yang sebenarnya sangat sederhana: mempunyai pemerintahan yang mampu mengangkat kesejahteraan orang banyak, menjamin keamanan sehari-hari dan menumbuhkembangkan rasa keadilan orang ramai.
Kepada para wakil rakyat di Senayan sebenarnya dibebankan dua tugas penting. Yang utama adalah membuat undang-undang, yaitu membangun rel hukum ke tempat tujuan agar lokomotif pemerintahan dapat membawa rakyat ke keadaan yang diidam-idamkan selekas dan seaman mungkin. Juga, menjadi patokan bagi aparat lembaga yudikatif yang bertugas mengawal perjalanan agar selalu sesuai dengan rel yang telah dibangun bersama-sama itu. Siapa pun yang mencoba keluar jalur akan mendapatkan sanksi sesuai dengan rambu-rambu hukum yang berlaku.
Tugas kedua adalah mengawasi jalannya roda pemerintahan, termasuk melakukan adaptasi terhadap perubahan tantangan zaman. Sebab, bukan mustahil, bahkan sebuah keniscayaan bahwa rel hukum yang dibuat masa lalu tak lagi sesuai dengan tantangan masa kini dan produk legislatif yang dibuat sekarang nantinya tak memadai lagi untuk mengatasi tantangan masa depan. Maklum, tantangan sebuah bangsa dan aspirasi rakyatnya adalah sebuah perjalanan perubahan yang tak pernah henti. Itu sebabnya, undang-undang selalu harus diperbarui dan konstitusi pun kadang kala perlu diamendemen. Sebab, boleh dikatakan undang-undang dan produk hukum lainnya adalah aspirasi politik yang dibekukan dan tugas parlemen adalah memastikan aspirasi yang dibekukan itu tak jauh berbeda dengan yang sedang berlangsung. Bila perbedaan itu sudah terlalu jauh, maka yang beku pun dicairkan kembali dan yang sedang berjalan dibekukan sebagai pengganti.
Tugas mengevaluasi undang-undang yang ada dan membuat yang baru bila perlu ini sekarang tak dijalankan DPR. Yang dikerjakan justru perebutan posisi karena masing-masing pihak terpisah oleh semangat ingin menjatuhkan pemerintah dan yang ingin mendukung. Inilah ekses pertarungan pemilihan kandidat presiden yang didukung masing-masing kelompok itu. Pendukung pasangan Megawati-Hasyim Muzadi ingin melanjutkan pertarungan dari ronde pemilihan presiden langsung?yang menyebabkan mereka dalam posisi kalah?ke ronde perebutan kekuasaan di parlemen. Dengan menguasai lembaga legislatif ini agaknya tersembul niat untuk membangun rel yang akan mengakibatkan lokomotif pemerintahan terguling. Upaya ini dilawan Koalisi Kerakyatan dengan gerakan boikot yang bermuara pada tak mungkinnya rel perjalanan pemerintah dibangun sama sekali. Atau, minimal, pemerintahan hanya dapat berjalan di rel lama yang dibangun oleh DPR sebelumnya.
Taktik kedua kelompok ini, yang sebetulnya berseteru hanya karena mendukung calon pasangan masinis yang berbeda, jelas merugikan kita semua. Sebab, tujuan mengadakan pemilihan umum yang membawa mereka ke kursi parlemen adalah agar mereka membangun rel yang sebaik mungkin untuk mencapai tujuan. Karena tujuan yang diharapkan dari kedua kelompok itu relatif sama, maka yang berbeda hanyalah pilihan jalan yang dilalui. Adapun pemilihan presiden hanyalah untuk menentukan kandidat masinis mana yang dianggap paling cakap untuk mengemudikan lokomotif di atas rel yang telah dibangun.
Dengan analogi ini, kelompok yang calon masinisnya tersingkir tak sepatutnya berupaya menggulingkan lokomotif hanya agar masinis kelompok pesaingnya terlempar dan dapat diganti di tengah jalan. Sebaliknya, kekuatan yang mendukung masinis yang terpilih tak boleh meninggalkan gelanggang, menolak tugas membangun rel, hanya karena merasa tak mungkin membangun di atas rute pilihannya. Kedua kelompok itu seharusnya duduk bersama, beradu argumen secara terbuka dalam menentukan jalur yang akan ditempuh, dengan tujuan agar perjalanan bangsa menuju tujuan berjalan secepat dan seaman mungkin.
Tentu, itu bukan berarti lembaga eksekutif tak perlu diawasi. Justru dengan membangun rel hukum yang baik akan membuat pemerintah sulit menyimpang. Kalaupun kinerja masinis dianggap bermasalah, misalnya terlalu sembrono atau terlalu hati-hati, tentu wajib ditegur dan bila perlu diganti di stasiun berikut melalui pemilihan umum yang telah dijadwalkan sebelumnya. Kecuali bila penyimpangannya sudah luar biasa, misalnya membawa lokomotif pemerintahan keluar dari rel hukum yang telah ditentukan, maka tindakan darurat pemecatan di tengah jalan jelas wajib dilakukan.
Tapi itu soal nanti. Yang sekarang diperlukan adalah DPR segera membangun rel hukum yang menjadi tugasnya itu. Ronde pertarungan pemilihan masinis sudah berakhir dan ronde pertandingan memilih rute perjalanan bangsa sudah dimulai. Silakan bertarung dengan sehat, seperti rakyat telah menunjukkan bagaimana bertarung memilih presiden dengan damai dan lancar. Dalam politik, kekuasaan memang harus direbut. Namun, memperoleh kekuasaan yang kemudian ditinggalkan rakyat adalah kemenangan Phyric, alias meraih pepesan kosong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo