Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko Endarmoko
Belum lama ini saya sadari satu tulisan saya, yang diminta untuk menyambut 65 tahun Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, sedikit diubah oleh penyun-ting-nya dengan tidak semena-mena. Se-dikit, karena hanya berupa penggan-tian beberapa kata, tapi ini barangkali dapat kita jadikan pintu masuk untuk melihat persoalan di sebaliknya yang boleh jadi lebih menarik.
Kita ambil beberapa contoh. ”Bidik-an kameranya menjuju (diganti jadi me-nuju) ke banyak hal, . . .”. Contoh lain, ”Masih dengan penjelasan yang rudin (diganti jadi rumit) buat kita . . .”. Ter-akhir, ”. . . dan saya mulai gamam (diganti jadi gamang): . . .”.
Saya menaruh syak si penyunting tidak tahu arti menjuju, rudin, dan gamam. Ia mungkin mengira telah terjadi salah ketik. Untung saja kata-kata tercetak miring dalam contoh pertama dan ketiga memiliki kedekatan makna alias bersinonim, meski tetap ada perbedaan. Menjuju punya pengertian ”terarah atau menghadapkan sesuatu ke”, sedang menuju berarti ”mengarah atau bergerak ke”. Gamam me-ngandung pengertian ”harap-harap cemas”, sedang gamang lebih dekat de-ngan ”takut”, seperti rasa ngeri yang menyergap bila kita melongok ke ba-wah dari suatu ketinggian.
Tapi rudin dan rumit, alangkah beda! Dalam bagian tulisan itu saya te-ngah menyajikan contoh betapa kamus besar kita pekat diwarnai oleh ke-terangan yang miskin betul, juga pada edisi perbaikannya. Belibas oleh kamus besar diartikan begini: ikan laut, Siganus oramin (edisi II). Lalu pada edisi berikut dirumuskan se-per-ti ini: ikan laut, Teuthis oramin. Kalau per-baik-an hanya berupa penggantian istilah Latin, apa yang kita bisa peroleh dari penjelasan yang tetap rudin, sa-ngat miskin—bukan rumit—macam itu?
Andaikata syak wasangka saya be-nar, bahwa si penyunting tak memahami arti menjuju, rudin, dan gamam, sekurang-kurangnya ia tak sendirian. Beberapa waktu lalu seorang teman, ku-rator film di Teater Utan Ka-yu, menanyakan arti kata me-romok. Ia temukan ka-ta itu dalam kum-pul-an cerpen Asrul Sani, Dari Sua-tu Masa dari Sua-tu Tempat, dan se-mua orang yang ia tanyai tidak ta-hu artinya. Kata me-romok itu, ki-ni ki-ta tahu, ber-sau-dara de-ngan mendekam, me-nge-ram, mengge-ru-muk, mengokol, meringkuk, dan terperonyok.
Jangan-jangan, semakin hari semakin banyak di antara kita yang semakin tidak akrab dengan bahasa sendiri. Dan itu diperburuk oleh kian banyaknya kata dan istilah asing yang menyelinap ke dalam bahasa kita. Kemalasan berpikir sejenak demi menemukan suatu konsep dalam bahasa sendiri tak pelak menyebabkan wacana di sekeliling kita disesaki- kata dan istilah yang semakin tidak terasa asing: artikulasi, ekspektasi, formulasi, identifikasi, interpretasi, kapasitas, karakter, opsi, signifikan, . . . . Kata serapan memang mengayakan kosakata kita. Namun, percayalah, pemakaiannya yang terlampau kerap lambat-laun bisa mengakibatkan sejumlah kata dalam khazanah bahasa Indonesia terlupakan.
Itukah yang memberi ide penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Bahasa? Ya, inilah dagelan lain yang sebentar lagi disuguhkan pada kita setelah RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi. Ini negeri sudah sangat kacau rupanya di mata para amtenar sampai-sampai cara berbahasa, berbusana, dan bergoyang pen-ting ditata dalam se-buah undang-undang. Mereka- tak percaya ma-sya-rakat sudah pin-tar dan masih punya susila. -Me-reka tak perca-ya masya-rakat pu-nya lembaga sen-diri yang memungkinkan mere-ka saling menjaga, meng-ingatkan, dan, di mana perlu, menjatuhkan sank-si.
Tujuh puluh de-la-pan tahun silam, pa-ra pemuda se-Nusantara yang berkumpul di sebuah gedung Jalan Kramat Raya, Jakarta, elok sekali merumuskan pernyataan ”menjunjung”—bukan ”mengakui”—bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dan kearif-an mereka itu membuat saya tak pernah habis pikir, sampai detik ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo