Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pornografi

17 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tesis I: Pornografi adalah persoalan yang timbul ketika lebih banyak orang mendapatkannya..

Gambar persetubuhan tanpa tedeng aling-aling, yang merupakan peninggalan kerajaan muslim di India selama tiga abad sejak 1526, dibuat di lembaran yang berjumlah terbatas. Baru di abad ke-20 seni rupa erotik zaman Moghal itu diketahui orang ramai.

Begitu pula ukiyo-e di Jepang di masa Tokugawa, dua abad sejak 1603. Karya-karya dari ”dunia yang mengapung” ini—kata lain untuk dunia perempuan penghibur—dibuat di atas kain, dalam jumlah relatif terbatas, dan umumnya dimiliki orang berada. Baru kemudian ia dicetak di atas kertas dan beredar di pasar yang luas.

Ketika Serat Centhini dengan adegan-adegan cabul yang terselip di antara 12 jilid itu ditulis di abad ke-19, ia adalah sebuah manuskrip tertulis tangan. Pembacanya mungkin tak sampai 1.000 orang: sebuah lingkaran intim yang relatif setara dan seselera dalam menilai..

Namun, kemudian perdagangan menularkan permintaan. Kapitalisme yang agresif dalam produksi dan distribusi pun bangkit. Sebuah karya bisa mencapai kalangan yang jauh. Di satu pihak ia tampak amat berkuasa. Di pihak lain ia meri-sau-kan. Tak semua orang yang menemukannya merasa akrab dengan nilai yang melahirkannya. Tak semua yang menerima-nya seusia. Mungkin ada orang yang hanya kaget sejenak, tapi ada yang menganggap gambaran adegan seks berbahaya atau berdosa.

Kian besar jumlah konsumen, kian tak pasti pula coraknya.. Dari ketidakpastian itu orang waswas: ”Awas, pornografi!”

Perkaranya semakin pelik ketika agama-agama—umumnya yang datang dari Timur Tengah—menganggap ekspresi macam itu ”berdosa”, diedarkan atau tidak. Sementara itu, para penjaga ketertiban publik, para aparatur negara, lebih meng-anggap ini bukan soal dosa, melainkan soal ”bahaya”.

Tampaklah di sini ada dua ukuran yang dipakai—dua ukur-an yang terkadang campur-aduk. Kita sering alpa ba-h-wa yang ”berdosa” belum tentu ”berbahaya”, misalnya keti-ka anda bangkit syahwat memandangi Angelina Jolie. Sebaliknya, kendarailah mobil tanpa SIM: anda secara publik ”berbahaya”, tapi Quran dan Injil tak akan menganggap anda ”berdosa”.

Atas dasar yang mana kita menentang pornografi? Karena berdosa atau karena berbahaya?

Tesis II: Pornografi akhirnya bukanlah soal apa, tapi bagaimana.

Jika anda bertanya apa itu ”pornografi”, jawab yang didapat akan selalu bisa didebat. Ada sebuah kanvas Basuki Abdullah yang melukiskan para bidadari mandi di air terjun hutan, sebuah tema dari dongeng Jaka Tarub. Karya itu tak pernah dianggap cabul oleh banyak orang Indonesia, termasuk Bung Karno. Tapi mungkin ia akan diharamkan Majelis Ulama Indonesia, Front Pembela Islam, Majelis Mujahiddin, dan Partai Keadilan Sejahtera.

Perbedaan ini akhirnya harus diselesaikan—dan di situlah bagaimana sebuah keputusan diambil jadi soal yang menentu-kan. ”Nilai-nilai bersama” dalam masyarakat tak jatuh se-perti pulung. Tiap masyarakat mengandung dimensi politik: apa yang disebut ”nilai-nilai bersama” sebenarnya merupa-kan hasil persaingan hegemoni.

Ada yang menyelesaikan persaingan ini dengan aksi sepihak: memaksakan nilai-nilai sendiri ke seluruh bangunan sosial, terkadang dengan kekerasan, seperti yang dilakukan Taliban di Afganistan dan Front Pembela Islam di Indonesia. Tapi ada yang menawarkan ukuran-ukurannya untuk di-rundingkan dengan kalangan lain, sebuah proses yang lazimnya menghasilkan kompromi. Ada pula yang menyelesai-kannya melalui pengadilan.

Seperangkat nilai-nilai yang ditawarkan untuk dirundingkan, atau dipilih melalui pengadilan, dengan sendirinya akan jadi seperangkat ukuran yang tak mutlak. Itu berarti ia tak sakral dan kekal.

Tapi seperangkat nilai-nilai yang dipaksakan dengan kekerasan secara serta-merta akan kehilangan aura. Ia bisa saja dianggap suci, tapi dengan demikian ia tampak tak mampu membuat dirinya berwibawa. .

Itulah yang terjadi ketika Tuhan diperlawankan dengan Playboy.

Tesis III: Pornografi memang produk kapitalisme hari ini—maka mungkin ia mengalahkan dirinya sendiri.

Di negeri-negeri komunis gambar telanjang diharamkan. Di Uni Soviet patung manusia dibuat dengan memamerkan wajah yang sehat, otot yang gempi dan dada yang kencang. Tapi Albert Spier, orang kepercayaan Hitler, pernah heran ketika ia mengunjungi paviliun Uni Soviet di pameran besar internasional di Paris di tahun 1930-an. Ia melihat, berbeda dengan patung-patung Nazi Jerman, di bawah Stalin semua patung tertutup auratnya….

Tapi bila komunisme menutup aurat, tak berarti kapitalis-me membukanya. Di tahun 1950-an, Hollywood adalah tempat di mana seks ditawarkan ke konsumen, tapi juga kota yang berhati-hati. Kapitalisme memang hanya sekali-sekali nekat. Maka, Marilyn Monroe dalam Niagara (1953) tak pernah seerotis Brigitte Bardot dalam Et Dieu… créa la femme (1956) di Prancis….

Meskipun demikian, kapitalisme memang cocok dengan pornografi: keduanya hidup karena kelangkaan. Di awal 1950-an pula, ketika seks masih tabu di media Amerika, Hugh Hefner menerbitkan Playboy. Pada nomor pertama majalah itu langsung terjual 50.000 eksemplar. Sejak itu, ia menanjak. Ia praktis telah membebaskan orang Amerika dalam bicara soal seks. Tapi keberhasilan itu berarti hilangnya kelangkaan. Majalah pesaing muncul, lebih berani: Hustler, Penthouse, Maxim…. Sejak tahun 1980-an, bisnis Playboy merosot.

Sebentar lagi tampaknya semua akan merosot: teknologi telah membuat kelangkaan hampir mustahil. DVD porno segera mengejar, dan akhirnya ia sendiri dikejar. Blue film di internet pun bermunculan, semakin lama semakin gampang, di mana saja, kapan saja.

Negara dan agama pun akan menemui batas kekuasaannya, dan pornografi akan jadi seperti tembakau: sesuatu yang tak sehat, tapi terus ada, hanya kadang-kadang memikat, lalu kita lupa.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus