QADHI: Anda memang sudah murtad, Rushdie. Anda sendiri mengaku bahwa dahulu di salah satu lubang hati Anda ada Tuhan. Tetapi tanpa pengakuan itu pun Anda murtad karena menghina Jibril, Rasulullah saw., dan keluarganya. Kau lukiskan Jibril sama dengan setan. Kau sebut Nabi yang mulia itu dengan "the medieval baby frightener, the Devils Synonym: Mahound." Kau ceritakan bahwa wahyu adalah hasil pergumulan Nabi dan Jibril, dan keluar setelah keduanya teler. Kau ceritakan Nabi sebagai orang yang lemah, bulan-bulanan guyonan Hindun (Masya Allah, kau gambarkan Hindun mengelus dada Nabi dan menyuapinya), penipu, perampok, orang linglung yang tidak dapat membedakan wahyu dengan omongan penulisnya (seperti diceritakan tokoh Salman Farisi dalam bukumu). Kau tidak ragu-ragu menyebut Ibrahim a.s. sebagai "bastard", sahabat-sahabat Nabi sebagai teroris yang berulang mengusap anggota tubuhnya dengan air. Kau ejek Hamzah sebagai pahlawan yang sering kalah dalam pertempuran, tetapi -- karena banyak duit -- berhasil menyuap para penyair untuk menutup-nutupi kekalahannya. Kau cemoohkan hukum-hukum Islam, karena terlalu banyak mencampuri urusan manusia. Tak kurang menyinggungnya, kau ceritakan rumah bordil dengan pelacur-pelacur yang diberi nama istri Nabi -- Ayesba, Hafsah, Zaenab, Ummu Salamah, dan seterusnya. Dalam ocehanmu, nama rumah bordil itu Hijab. Tidakkah kau tahu, Hijab kini telah menjadi lambang kebangkitan Islam? Setelah itu, bukumu menimbulkan keresahan di seluruh dunia Islam. Kaum muslimin telah ijma' bahwa buku Anda menyinggung perasaan mereka. Beberapa orang korban telah jatuh. Sejumlah kekayaan telah musnah. Dengan mempertimbangkan itu semua, kami memutuskan hukuman mati buat Anda. Para ahli tafsir menjelaskan bahwa al-Maidah 33 berkenaan dengan orang yang murtad: "Adapun hukuman orang yang memerangi Allah dan Utusan-Nya dan berbuat rusak di bumi ialah bahwa mereka harus dibunuh atau disalib atau dipotong tangan mereka atau kaki mereka berselang-seling, atau dibuang dari bumi. Inilah kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat, mereka mendapat siksa yang berat." Al-Syawkani, dalam Nayl al-Awthar 7:379, mencantumkan hadis-hadis tentang orang-orang yang menghina Nabi dan memberi judul babnya dengan kata-kata: Bab hukuman mati bagi orang yang jelas-jelas menghina Nabi saw. Ada seorang Yahudi yang mencaci maki Nabi. Seorang laki-laki muslim membunuhnya. Nabi membatalkan perlindungannya sebagai kafir dzimmi. Al-Syawkani mengutip pendapat para ulama tentang pencaci Nabi. Menurut Ibn Mundzir, semua ulama sepakat bahwa pencaci Nabi wajib dibunuh. Abu Bakar Al-Farisi, salah seorang ulama mazhab Syafii, dalam kitab Al-Ijma', berkata, "Barang siapa menghina Nabi saw., yang merupakan tindakan keji, adalah jelas kafir menurut kesepakatan ulama. Seandainya ia bertaubat, tidak gugur hukuman matinya, karena hadd (keputusan hukum pidana) bagi tuduhan keji adalah hukuman mati dan hadd ini tidak boleh dihapuskan." Abd al-Rahman al-Jazairi dalam kitab Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah (Fikih Menurut 4 Mazhab) 5:433, menetapkan hadd murtad kepada orang yang menghina Quran, malaikat, Nabi, Syariat Islam. Hukuman harus dijatuhkan apabila penghinaan itu terbukti, paling sedikit berdasarkan kesaksian dua orang yang 'adil. Semua imam yang empat sepakat bahwa yang sudah terbukti murtadnya dari Islam wajib dibunuh. Yang tidak disepakati adalah apakah terdakwa harus diberi peluang beberapa hari untuk bertaubat. Umumnya waktu yang diberikan adalah tiga hari. SALMAN RUSHDIE: Rasanya aku sudah putus asa untuk meyakinkan Tuan Qadhi bahwa ceritaku berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Thabari, misalnya. Kisah ayat setan yang dimasukkan dalam al-Najm diceritakan juga oleh banyak kitab tafsir. Ibn Hajar malah mengatakan bahwa hadis itu mempunyai banyak sumber dan karenanya sahih. Memang, pada setiap sumber dapat dilacak kelemahannya. Sudah aku katakan bahwa Mahound, istilah jelek itu, dipergunakan untuk mengubah penghinaan menjadi kekuatan. Hal-hal lain yang aku ceritakan dalam bukuku hanyalah imajinasi, metafora untuk merefleksikan tekanan hati dan transformasi imigran dari India. Tuan Qadhi mengatakan banyak korban jatuh karena bukuku. Itu salah mereka. Aku bukan orang pertama menulis buku seperti itu. Dante Alighieri, dalam Divina Comedia, melukiskan Moametto sebagai penghuni neraka kesembilan, lebih jahat daripada pembunuh, penipu, dan pemburu nafsu. Bila Dante tidak dihukum mati, apakah karena orang Islam waktu itu tidak tersinggung? Humprey Prideaux, pada abad ke-17, menulis kisah biografi Nabi dengan judul The True Nature of Imposture. Ia juga tidak dihukum mati, karena umat Islam tidak tersinggung. Sebutlah pengarang-pengarang besar lainnya: Milton, Marlowe, Tasso, Shakespeare, Cervantes. Mereka -- seperti aku -- pernah melukiskan Muhammad sebagai penipu. Mereka tidak dihukum mati, Tuan Qadhi. Mengapa aku? Mungkin, menurut Tuan Qadhi, mereka itu asli kafir sedang aku ini pernah muslim. Alangkah enaknya posisi sebagai orang kafir daripada posisi semacam aku ini. Tuan Qadhi mengutip al-Syawkani, tetapi tidak lengkap. Di situ disebutkan juga hadis-hadis yang nadanya lain. Seorang Yahudi mengejek Nabi dengan mengucapkan al-sam alayk. Sahabat meminta izin Rasul untuk membunuhnya. Apa kata Nabi? Jangan, ucapkan saja yang seperti itu: wa 'alayk. Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Bukhari. Ketika Dzu al-Khuwaysharah menghina Nabi, Nabi melarang orang membunuhnya. Apakah Tuan Qadhi juga lupa bahwa Nabi membiarkan Abdullah bin 'Ubayy yang munafik dan sering menghina Nabi? Tuan Qadhi juga mengutip Fikih Menurut 4 Mazhab secara tidak adil. Mengapa tidak Tuan kutip hukum orang yang meminta maaf (istitabah) setelah ia murtad? Aku sudah meminta maaf secara terbuka. Di situ al-Kharki menetapkan kebebasan bagi orang yang istitabah dengan mengutip ayat Quran, "Siapa bertaubat, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, maka bebaskanlah mereka. Sungguh Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang." (al-Taubah, 5). Tuan Qadhi, dalam Quran, Tuhan memang dilukiskan dengan dua wajah: Sang Pembalas yang Keras dan Sang Pengampun. Aku memilih wajah yang kedua, lebih manusiawi -- eh, maaf, lebih Tuhani. Tuhan Penyayang itu yang berkata, "Ia ajarkan manusia kemampuan berekspresi" (al-Rahman, 4). Dosaku, Tuan Qadhi, hanyalah karena aku ingin menggunakan anugerah Tuhan -- kemampuan berekspresi -- tanpa dibatasi oleh polisi-polisi pikiran di zaman ini. QADHI: Rusdhie, Anda orang awam dalam fiqih. Amat sukar bagiku menjelaskan siyasah syar'iyyah (politik hukum agama) padamu. Cukuplah aku katakan bahwa kasus yang sama dapat diperlakukan berbeda, karena perbedaan konteks terjadinya kasus itu. Selain tekstual, hukum harus kontekstual. Ketika Dante, Prideaux, dan orang yang kau sebutkan itu menghina Rasulullah saw. dan Islam, umat Islam waktu itu sedang lemah. Mereka tengah terbelenggu dalam imperialisme. Barat mendominasi mereka secara fisik, intelektual, dan spiritual. Paling tidak, Anda terlambat tiga abad Rushdie. Anda berhadapan kini dengan dunia Islam yang sedang bangkit, yang tidak dapat dipaksa diam, dengan sanksi ekonomi sekalipun. Hadis-hadis yang kau sebut itu tidak relevan dengan kasusmu. Yahudi itu hanya menghina dengan ucapan salam. Dzu al-Khuwaysarah hanya menggerutu dan menuduh Nabi tidak adil ketika ia kebagian sedikit rampasan perang (ghanimah). Penghinaan mereka hanya didengar beberapa orang. Penghinaan Anda sudah dicetak lebih dari seratus ribu kopi. Maliki, Hambali, dan Hanafi menolak istitabah apabila orang itu mengulangi penghinaannya. Mereka mengutip al-Nisa, 137. Jadi, bersiaplah untuk mati. Kebebasan berekspresi, Rushdie, tanpa tanggung jawab hanyalah tirani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini