Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Gunting para ulama

Sepanjang sejarah Islam yang sudah berusia 15 abad, penyensoran buku sudah sering dilakukan oleh ulama & penguasa. bahkan ilmu hitung, logika, kimia yang saat itu sebagai ilmu baru, dianggap membahayakan keimanan.

11 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN hanya The Satanic Verses buku yang menghebohkan di kalangan umat Islam. Sepanjang sejarah Islam, yang sudah 15 abad usianya, soal pembakaraan dan pembredelan buku sudah sering dilakukan oleh ulama dan penguasa. Pada awal abad ke-4 Hijrah, sarjana muslim mulai mengedarkan ilmu baru di luar keagamaan seperti filsafat, logika, ilmu hitung, dan kimia. Ternyata, ilmu-ilmu baru itu tak selalu diterima, bahkan kadang kala dianggap membahayakan keimanan Ilmu kimia, misalya, pernah dihujat sebagai barang haram, bahkan oleh ulama yang terkenal toleran seperti Ibn Khaldun dan Ibn Taymiyyah. Maka, di zaman itu banyak buku ilmu pengetahuan dilarang beredar, dianggap sebagai sumber malapetaka dan menurunkan kadar iman para umat. Sesudah buku ilmu pengetahuan, giliran kitab-kitab tasawuf disensor. Misalnya buku karya al-Hallaj, al-Suhrawardi, dan Ibn Faridh. Selain karya-karya itu diharamkan beredar, penulisnya ada yang dihukum pancung. Padahal, menurut sebagian ulama, tasawuf diangap jantung agama. Demikian pula dengan Muhammad Abd al-Salam (661 H). Buku-buku karya cucu Abd al-Qadir Jaylani itu dinilai meragukan ajaran agama, kemudian dibakar di depan masjid atas perintah Perdana Menteri Ibn Yunus, sesuai dengan usul penasihatnya, Abu al-Faraj ibn al-Jawzi. Dalam hal larang-melarang buku itu, posisi al-Ghazali sungguh unik. Ulama dari abad ke-12 yang oleh sebagaian ulama dinilai berdiri di antara filsafat dan agama itu tampaknya memandang segalanya dari banyak segi. Akibatnya, di suatu masa, karyanya dianggap merupakan kritik terhadap filsafat, di masa yang lain, sebaliknya, kitab-kitabnya dinilai lebih kuat berbau filsafat daripada keagamaan. Maka, suatu ketika karyanya, Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof), yang mengkritik sejumlah pemikiran filsafat Ibn Sina, digunakan oleh Al-Hajib al-Mansyur, penguasa daulat Abbasiyah, untuk mendapatkan semacam pengesahan untuk memberangus dan membakar buku-buku filsafat, logika, dan astronomi di halaman istana. Tindakan ini mengakibatkan harga buku-buku tersebut di pasar anjlok. Tapi belasan tahun setelah al-Ghazali meninggal, giliran kitab-kitabnya kena damprat. Sejumlah ulama menafsirkan karya-karya Ghazali lebih dekat ke filsafat daripada agama. Maka, kitab-kitabnya dimusuhi dan dibakar. Tapi tafsiran al-Ghazali menghujat filsafat terlanjur membawa korban. Ibn Rusyd (1198 M), yang membela pendapat para filosof, kalah. Menurut Ibn Rusyd dalam pembelaannya, ayat Quran itu mengandung makna lahir dan batin, yang bisa dipahami melalui pemikiran rasional. Namun, para sarjana fikih, dengan antara lain mengacu pada buku-buku al-Ghazali, menuduh Ibn Rusyd berpikiran sesat. Sidang pengadilan memutuskan, ulama satu ini sebagai "manusia setan" yang harus dibuang ke Alyasanah, desa berpenduduk Yahudi di Sevilla, Spanyol. Dan diumumkan, semua bukunya, termasuk Tahafut al-Tahafut, haram beredar. Sejarah Islam juga mencatat sensor buku yang dilakukan 7 abad setelah buku itu terbit. Surat kabar al-Akhbar, 16 Februari 1979, memberitakan buku al-futuhat al-Makkiyah dilarang beredar. Itu karya besar Ibn'Arabi, yang hidup di abad ke-13. Untuk melarang buku itu, debat di Dewan Rakyat Mesir berlangsung selama 15 jam, debat terpanjang dalam sejarah Dewan tersebut. Akhirnya, diputuskan bahwa karya-karya Muhyi al-Din Ibn'Arabi (1240 M), khususnya al-Futuhat al-Makkiyah (Wahyu-wahyu Mekah), dilarang. Menurut Dewan, buku tasawuf itu mengandung ajaran yang ekrem (tatarruf), yang menyebabkan kebingungan, keraguan, dan pertentangan di kalangan umat. Buku itu dibuka dengan mimpi Ibn Arabi bertemu Nabi Muhammad saw., disuatu ruang yang indah dan semerbak. "Aku diberi tugas menyampaikan semua perkataannya, seperti kutulis di buku ini," tulis Ibn Arabi. Tapi Ibn Arabi beruntung. Tiga hari kemudian muncul editorial di koran pemerintah Al-Ahram, yang mempertanyakan keputusan Dewan. "Mengapa Kita melarang Buku ini?" tulis Dr. Ibrahim Madkur, Kepala Akademi Bahasa Mesir. Menurut orang yang terjun langsung menangani edisi baru futuhat itu, Dewan tidak punya hak hukum untuk melarang buku, karena itu termasuk sektor umum. Bukankah karya itu sudah dijual, dipelajari, dan disimpan selama 7 abad? Tak ayal lagi, muncullah polemik yang semarak selama beberapa bulan di koran-koran Mesir. Para ulama dan kaum sekularis mempertanyakan hak-hak Dewan, soal penyensoran, wewenangnya dalam urusan agama, juga soal Ibn Arabi dan ajarannya. Kontroversi Ibn Arabi mengungkapkan hubungan kompleks politik, ilmu pengetahuan, dan agama di Mesir. Tak cuma di Mesir, di Indonesia karya Ibn Arabi pun dianggapi. Di Kalimantan, Syaikh Muhammad Nafis ibn Idris al-Banjari menulis komentar berjudul al-Durr al-Nafis (Permata Indah), tanpa suatu halangan suatu apa. Di Aceh, Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumathrani mengembangkan ajaran Ibn Arabi, dengan menuliskan Jawahir al-'Ulum fi Kasyf al-Ma'lim (Ensensi Ilmu Dalam Mengungkap Rambu), mendapat reaksi keras dari para pengikutnya dikejar-kejar dan dibunuh oleh pengusaha. Buku-bukunya dibakar di halaman Masjid Baiturrahman, Aceh. Adalah di Mesir pula penulis dan novelis feminis Nawal al-Saadawi terkena sensor berkali-kali. Pada 1981 bekas Kepala Bagian Kesehatan dan Pendidikan di Departemen Luar Negeri Mesir itu dimasukkan ke bui oleh Anwar Sadat, karena dalam buku-bukunya ia menafsirkan hak-hak kaum wanita di luar ajaran Islam. Di penjara, al-Saadawi, bukannya patah, malah menghasilkan sebuah novel lagi dari pengalamannya ini: Penjara Wanita. Daftar karya-karya yang dimusuhi karena soal keislaman ini bisa diperpanjang dengan misalnya, yang terjadi di Abu Dhabi dan Tunisia.Ahmadie Thaha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum