Saya terkejut ketika membaca pendapat seorang anggota Fraksi DPR pada sebuah harian ibu kota yang meminta agar orang Indonesia juga ditangkal memasuki Indonesia. Contoh yang diambil adalah Benigno Aquino. Menurut saya, pendapat Pemerintah, dalam hal ini Menteri Kehakiman, sudah tepat. RUU Imigrasi hanya mengatur penangkalan terhadap orang asing, karena hal itu berlaku di seluruh dunia sebagai blacklist system. Jadi, tidak ada masalah. Namun, bila sudah menginjak kepada Cekal bagi warga negara Indonesia, hal itu sudah memasuki masalah-masalah hak asasi manusia dan kepentingan negara seperti pidana, Poleksosbud, dan Kamtibmas. Contoh dan kasusnya sangat banyak, dan tetap merupakan masalah. Itu sebabnya membahas masalah Cekal bagi warga negara memerlukan pemikiran yang mendalam dan saksama, serta ditinjau dari berbagai aspek, tapi bukan aspek imigrasi. Kalau pelaksana di lapangan memang Unit Imigrasi. Pada tahun 1950an, ada kasus perintah pencabutan paspor terhadap Mr. Iskaq Tjokrodisuryo, yang waktu itu berada di Eropa. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan Pemerintah terhadap negara yang bersangkutan tidak membawa hasil karena mustahil ada negara yang mau mencabut paspor RI yang dipegang oleh seorang warga negara Indonesia di luar negeri. Ini baru pencabutan paspor RI di luar negeri. Bagaimana seandainya Mr. Iskaq itu datang langsung ke Indonesia dan ditangkal tidak boleh memasuki pelabuhan-pelabuhan udara atau laut di seluruh Indonesia? Apakah ia akan diusir dan dideportasi? Negara mana yang mau menerimanya? Tidak masuk akal. Kasus Benigno Aquino adalah pure politik. Apakah Immigration Act Filipina mengatur penangkalan terhadap warga negara Filipina, saya yakin tidak. Tapi yang jelas, penolakan Benigno, Marcos, dan Imelda itu adalah kasuistis dan murni politik. Kita pun dapat melakukan itu terhadap oknum-oknum tertentu, tapi itu politik dan tidak boleh diatur dalam suatu undang-undang. Apalagi, Undang-undang Imigrasi yang substansinya adalah mengenai proses keberadaan orang asing. Bila itu suatu ciri dan tradisi Filipina, sebaiknya tradisi itu tidak ditiru. Kita patut menyimak apa yang dikatakan almarhum Anwar Sadat, pemimpin Mesir, ketika memberi izin masuk dan perlindungan bagi Shah Pahlevi dan keluarganya setelah terguling, "Adalah menjadi tradisi bangsa Mesir untuk memberikan perlindungan pada sahabat-sahabatnya yang menemui kesulitan. Shah Reza Pahlevi dan keluarganya boleh tinggal untuk selamanya di Mesir." Barangkali, tradisi inilah yang patut ditiru. Jadi, gagasan-gagasan untuk menolak warga negara Indonesia memasuki tanah air hendaknya kita lupakan saja dan kita buang jauh-jauh. Kalau itu diperlukan, ya, "tangkap saja" sewaktu memasuki pelabuhan udara atau laut. Tapi, ini hanya keputusan sesaat dan kasuistis. Sebagai kesimpulan, saya menyarankan agar tidak hanya Cekal saja yang ditunda pembahasannya, tapi akan lebih bijaksana kalau semua pasal mengenai orang Indonesia dan paspor Indonesia ditunda dulu pembahasannya. IBRAHIM SAIFUDDIN Jalan Bakti No. 27 Cilandak Marinir Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini