Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada-ada saja siasat Dewan Perwakilan Rakyat mengekang kebebasan berpendapat dan memenuhi hak masyarakat mendapat informasi. Melalui revisi Undang-Undang Penyiaran, DPR hendak melarang media melakukan jurnalisme investigasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ide melarang jurnalisme investigasi muncul dalam Pasal 50B ayat 2 huruf c draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bertanggal 27 Maret 2024. Draf RUU Penyiaran dibuat dan diusulkan oleh Komisi Penyiaran DPR pada Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ide merevisi UU Penyiaran sudah coba dilakukan DPR sejak 2012. Dalihnya harmonisasi dan penyesuaian dengan keadaan zaman. Sejauh ini, draf tersebut belum dibahas di Badan Legislasi sehingga masih jauh dari pembahasan dengan pemerintah—satu tahap akhir DPR mengesahkan sebuah undang-undang.
Dalam catatan rapat pembahasan revisi UU Penyiaran tersebut termuat alasan DPR melarang media melakukan investigasi, yakni menghindari monopoli wartawan dari kelompok media tertentu membongkar sebuah penyelewengan. Alasan lain: jurnalisme investigasi bisa mempengaruhi opini publik atas penyidikan sebuah perkara yang tengah dilakukan aparat hukum.
Gagasan DPR itu ahistoris dan menunjukkan pengetahuan yang dangkal. Esensi jurnalisme adalah investigasi. Sebagai pilar keempat demokrasi, jurnalisme investigasi adalah alat media massa untuk menjalankan peran penjaga dan pengawas tiga pilar lainnya, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tanpa investigasi, pers hanya akan menjadi corong ketiganya. Akibatnya, hak publik mendapat informasi akan tertutup.
Keterbukaan informasi adalah tulang punggung demokrasi. Sebuah negara tak akan bisa menjalankan sistem ini dengan sungguh-sungguh jika penyebaran informasi terbatas. Karena itu, kerja media justru membantu aparat penegak hukum menjalankan fungsinya dengan benar. Di banyak negara maju, wartawan dan aparat hukum saling dukung mencegah penyelewengan dan pelanggaran hukum.
Pasal lain yang bermasalah dalam draf UU Penyiaran adalah pemberian kewenangan bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyelesaikan sengketa pers. Kewenangan tersebut tertera dalam Pasal 8A. Menjadikan KPI sebagai lembaga yang memediasi sengketa produk jurnalistik bertentangan dengan UU Pers yang mendelegasikan mediasi kepada Dewan Pers.
Baik larangan jurnalisme investigasi maupun pemberian kewenangan kepada KPI, rupanya, karena Komisi I DPR tak menjadikan UU Pers sebagai acuan. Padahal UU Pers merupakan induk regulasi dalam mengatur media dan kebebasan pers. Melepaskannya dari UU Penyiaran akan membuat regulasi bertabrakan.
Pasal 56 juga berpotensi membatasi hak publik memperoleh konten eksklusif dan beragam. Pasal tersebut mengatur kelayakan setiap isi siaran di stasiun televisi konvensional. Pembuatan pasal ini akan menguntungkan industri televisi yang kini kalah pamor dibanding para pembuat konten di YouTube. Jika pasal ini lolos, industri digital akan kehilangan daya kreasinya, yang amat dibutuhkan oleh masyarakat dalam menyerap sebanyak mungkin informasi.
Ketimbang menyoalkan esensi jurnalisme dan pengaturan-pengaturan yang bertentangan dengan induk regulasi pers, DPR sebaiknya mengarahkan pembahasan UU Penyiaran untuk mendorong media kian independen. Caranya adalah mencegah monopoli kepemilikan media untuk menghindarkan konglomerasi yang bisa menghambat kerja jurnalistik sebagai penyebar informasi yang valid.
Jika jurnalisme investigasi adalah esensi sebuah media, independensi adalah rohnya. Tanpa independensi, meski tak ada larangan jurnalisme investigasi, para penguasa bisa leluasa mengekang media melalui pemilik saham. Ujungnya tetap sama: ancaman hilangnya hak masyarakat memperoleh informasi yang kredibel.
Indonesia sedang tumbuh menjadi negara berkembang dengan sistem demokrasi. Salah satu penopang untuk terus maju adalah masyarakat yang berpengetahuan. Karena itu, pendukungnya tak lain adalah media yang kredibel, independen, dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Poin-poin inilah yang seharusnya menjadi dasar DPR dalam merevisi UU Penyiaran.